Minggu, 07 Maret 2010

kesehatan mental

PENDAHULUAN
Dzikir, meskipun tidak termasuk ibadah fardu namun sangat dianjurkan dalam Islam. Ini semua disebabkan oleh keutamaan yang terkandung didalam dzikir sangat besar, terutama untuk meningkatkan kedekatan dan kecintaan kepada Allah SWT. Apalagi ketika dunia modern dewasa ini sudah terlalu rasional dasn cenderung matrealis, sehingga manusia merasa penat dan ingin kembali kepada hal-hal yang religious untuk meneguk rasa keagamaan yang hakiki.
Pendek kata, masyarakat modern memang haus akan prilaku kerohanian. Setelah kepuasan duniawi terpenuhi, mereka memerlukan kepuasan lain, yaitu kenikmatan rohani. Sebenarnya hubungan dzikir dengan ketentraman jiwa dapat dianalisis secara ilmiah. Dzikir secara lughawi artinya ingat atau menyebut. Jika diartikan menyebut maka peranan lisan lebih dominan, tetapi jika diartikan ingat, maka kegiatan berpikir dan merasa (kegiatan psikologis) yang lebih dominan. Dari segi ini maka ada dua alur pikir yang dapat diikuti:
Yang pertama, manusia memiliki potensi intelektual. Potensi itu cenderung aktif bekerja mencari jawab atas semua hal yang belum diketahuinya. Salah satu hal yang merangsang berpikir adalah adanya hukum kausalitas di muka bumi ini. Jika seseorang melahirkan suatu penemuan baru, bahwa A disebabkan B, maka berikutnya manusia tertantang untuk mencari apa yang menyebabkan B.
Kedua, manusia memiliki kebutuhan dan keinginan yang tidak terbatas, tidak ada habis-habisnya, padahal apa yang dibutuhkan itu tidak pernah benar-benar dapat memuaskan (terbatas). Oleh karena itu selama manusia masih memburu yang terbatas, maka tidak mungkin ia memperoleh ketentraman, karena yang terbatas (duniawi) tidak dapat memuaskan yang tidak terbatas (nafsu dan keinginan). Akan tetapi, jika yang dikejar manusia itu Allah SWT yang tidak terbatas kesempurnaan-Nya, maka dahaganya dapat terpuaskan. Jadi jika orang telah dapat selalu ingat (dzikir) kepada Allah maka jiwanya akan tenteram, karena dunia manusia yang terbatas telah terpuaskan oleh rahmat Allah yang tidak terbatas.
PEMBAHASAN
Gangguan jiwa yang sudah lama di kenal sejak dulu ialah hysteria. Pada permulan orang menyangka bahwa yang dihinggapi penyakit ini hanya kaum wanita. Akan tetapi kemudian pendapat itu berudah setelah Freud menemukan bahwa laki-laki pun dapat dihinggapi penyakit ini.
Seperti gangguan jiwa lainnya hysteria juga terjadi akibat ketidakmampuan seseorang menghadapi kesukaran-kesukaran, tekanan perasaan, kegelisahan, kecemasan, dan pertentangan batin. Dalam menghadapi kesukaran ia tidak mampu menghadapinya dengan cara yang wajar, lalu melepaskan tanggung jawab dan lari secara tidak sadar kepada gejala-gejala hysteria.
Dari hasil berbagai penyelidikan dapat dikatakan bahwa gangguan jiwa adalah kumpulan dari keadaan-keadaan yang tidak normal, baik yang berhubungan dengan fisik, maupun dengan mental. Keabnormalan tersebut tidak disebabkan oleh salit atau rusak bagian-bagian anggota badan, meskipun kadang-kadang gejalanya terlihat pada fisik.
Keabnormalan itu dapat di bagi atas dua golongan yaitu: golongan jiwa (neurose) dan sakit jiwa (psychose).
Neurosis pada mulanya diartikan sebagai ketidakberesan susunan syaraf tetapi psikolog akhirnya mengubah pengertiannya dengan gangguan-gangguan yang terdapat pada jiwa seseorang. Perubahan pengertian ini diakibatkan oleh hasil penelitian bahwa penyebab neurosis bukan hanya ketidakberesan syaraf, tetapi juga ketidakberesan sikap, perilaku, atau aspek mental seseorang.
Dengan demikian, neurosis dianggap sebagai suatu penyakit mental yang belum begitu mengkhawatirkan, karena ia baru masuk dalam kategori gangguan-gangguan, baik diakibatkan oleh susunan syaraf maupunkelainan perilaku, sikap, dan aspek mental lainnya. Gangguan-gangguan tersebut bisa berubah mengkhawatirkan apabila penderitanya menganggap enteng dan tidak berusaha mencari terapinya.
Neurosis memiliki karakteristik yaitu, rendahnya tingkat toleransi terhadap strees, bersifat egosentris, dan terganggunya hubungan antar pribadi, kurangnya wawasan atau pengetahuan dan bersikap kaku, merasa tidak puas dan bahagia, cemas dan gelisah, kurang memiliki kemapuan pengendalian diri dalam prilaku, gangguan psikogolisa dan somatic, tegang dan mudah marah.
Sedang psikosis adalah suatu penyakit mental yang parah, dengan ciri khas adanya disorganisasi proses pikiran, gangguan dalam emosionalitas, disorientasi waktu, ruang dan person, dan dalam beberapa kasus disertai halusinasi, delusi, dan ilusi. Halusinasi adalah tangkapan atau persepsi dari salah satu pancaindera yang keliru karena tanpa disertai rangsangan. Atau, pengalaman sensorik yang palsu. Misalnya, penderita mendengar sesuatu yang sebenarnya tidak ada, sehingga penderita berbicara atau tertawa sendiri untuk merespons suara tersebut. Delusi adalah suatu perasaan kepercayaan atau keyakinan yang keliru, yang tidak dapat diubah dengan penalaran atau dengan jalan penyajian fakta. Misalnya, penderita menganggap dirinya kaya dengan memakai perhiasan di tubuhnya, tetapi sebenarnya ia miskin dan memakai perhiasan dari buahbuahan bukan dari emas permata. Ilusi adalah salah tafsiran dari tangkapan atau pengamatan pancaindera yang menyimpang. Misalnya, penderita melihat air di jalan raya padahal sesungguhnya tidak ada, sehingga ia main-main air di jalan tersebut. Bentuk-bentuk psikosis adalah manic depressive psychosis, paranoia, schizophrenia, paresis, dan alcoholic psychosis.
Sebagaimana yang dijelaskan pada perspektif timbulnya gangguan mental di atas, tak satupun dari uraiannya melihat aspek spiritual dan agama sebagai salah satu dari perspektif timbulnya psikopatologi pada diri seseorang. Disadari atau tidak, dalam perkembangan kehidupan manusia banyak ditemukan gangguan mental yang disebabkan oleh faktor-faktor spiritual dan agama, misalnya kecemasan dan keresahan yang terus menerus akibat perbuatan dosa dan maksiat, seperti keresahan orang yang melahirkan anak dari hasil perzinaan. Selama anak itu masih di hadapannya maka selama itu pula ia mengingat dosa yang diperbuat dan mengakibatkan keresahan. Hal itu tentunya hanya dapat dijelaskan melalui perspektif religius.
Salah satu perspektif spiritual dan religius adalah sebagaimana yang ditawarkan oleh Al-Ghazali. Psikopatologi yang merusak sistem kehidupan spiritualitas dan keagamaan seseorang oleh Al-Ghazali disebut dengan al-akhlaq al-khabisah. Dalam Ihya Ulum al-din, ia berkata : akhlak yang buruk merupakan penyakit hati dan penyakit jiwa.
Senada dengan pernyataan di atas, Al-Razi dalam al-Thibb al-Ruhaniyah, menyatakan bahwa akhlak (yang mahmudah) merupakan pengobatan ruhani. Hal itu menunjukkan bahwa salah satu bentuk psikopatologi adalah perilaku (akhlak) tercela, sedangkan psikoterapinya adalah perilaku terpuji. Pernyataan tersebut dibenarkan sebab prinsip utama kesehatan mental adalah adanya penyesuaian diri seseorang terhadap lingkungannya.
Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam Ighasah al-Lahfan membagi kalbu (sebagai inti dari struktur psikis manusia) dalam tiga bagian : pertama, kalbu shahih (jiwa yang sehat), yaitu kalbu yang hidup (hayy), bersih dan selamat. Maksud kalbu yang sehat adalah kalbu yang selamat dari belenggu hawa nafsu, sehingga ia mampu melaksanakan ibadah dan melakukan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Aktivitas kalbu ini hanya diorientasikan kepada Allah, baik dalam takut, berharap, cinta, berserah diri, ikhlas, dan bertaubat. Kalbu model ini dapat dipahami dalam QS. Al-Syu’ara ayat 89:

Artinya:
“kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih (qalb salim).”

Kedua, kalbu mayt (jiwa yang mati), yaitu kalbu yang tidak lagi mengenal Tuhan-nya, meninggalkan ibadah, perbuatan hanya untuk menuruti syahwat sehingga mengakibatkan kebencian dan murka Tuhan. Kalbu model ini menjadikan hawa nafsu sebagai pemimpinnya, syahwat sebagai panglimanya, kebodohan sebagai sopirnya, lupa sebagai kendaraannya. Jika ia berpikir hanya menghasilkan sesuatu yang bermotivasi duniawi.
Ketiga, kalbu marid (jiwa yang sakit), yaitu kalbu yang hidup tetapi memiliki penyakit kejiwaan, seperti iri hati, sombong atau angkuh, membanggakan diri, gila kekuasaan, dan mudah membuat kerusakan di muka bumi. Model yang ketiga ini dapat dipahami dalam QS. Al-Baqarah ayat 10 dan Al-Hajj ayat 53:

“Di dalam hati mereka ada penyakit lalu ditambah oleh Allah penyakitnya”. (Al-Baqarah : 10)

“Agar dia menjadikan apa yang dimasukkan oleh setan itu sebagai cobaan bagi orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan yang kasar hatinya”. (QS. Al-Hajj : 53)
Dari kutipan tersebut dapat dipahami bahwa salah satu model psikopatologi dalam Islam adalah semua prilaku batiniah yang tercela, yang tumbuh akibat menyimpang (inkhiraf) terhadap kode etik pergaulan, baik secara vertikal (Illahiyah) maupun horizontal (insaniyah). Penyimpangan perilaku batiniah tersebut mengakibatkan penyakit dalam jiwa seseorang, yang apabila mencapai puncaknya mengakibatkan kematian Penderita penyakit batiniah ini secara fisik boleh jadi berpenampilan gagah, tegap, dan kuat, namun hatinya rapuh, menderita, resah, gelisah, gersang dan tidak mampu menikmati kejayaan fisiknya.
Sejalan dengan konsep di atas, Abhidamma dari Psikologi Timur mengemukakan bahwa faktor psikopatologis sentral, yakni delusi (moha), adalah bersifat perseptual. Delusi adalah kegelapan jiwa yang menyebabkan persepsi mengalami kesalahan dalam menangkap obyek kesadaran. Delusi merupakan ketidaktahuan dasar, pandangan yang salah, dan pemahaman yang tidak tepat yang menjadi sumber utama penderitaan manusia. Kesamaan konsep Abhidamma dengan para Psikolog Muslim ini disebabkan oleh kesamaan pendekatan yang digunakan, yaitu dari pendekatan Psiko-spiritual yang didasarkan atas nilai agama. Sumber penyakit jiwa adalah dosa yang mengakibatkan kegelapan jiwa dan penderitaan manusia.

"Hanya dengan mengingat Allah, hati menjadi tenteram". (QS. Ar Rad : 28)

Berdasarkan penelitian Dr. Herbert Benson dari Fakultas Kedokteran Harvard University menjelaskan bahwa ibadah dan keimanan kepada Allah memiliki lebih pengaruh baik kepada manusia. Menurut Benson tidak ada keimanan yang banyak memberikan kedamaian jiwa sebagaimana keimanan kepada Allah. Menurutnya, bahwa jasmani dan ruhani manusia telah dikendalikan untuk percaya kepada Allah.
Sementara itu Prof. Dr. Dadang Hawari, dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia menyatakan bahwa berdoa dan berdzikir merupakan bentuk komitmen keagamaan seseorang yang merupakan unsur penyembuh penyakit atau sebagai psikoterapeutik yang mendalam. Doa dan dzikir merupakan terapi psikoreligius yang dapat membangkitkan rasa percaya diri dan optimisme yang paling penting selain obat dan tindakan medis.
Berkaitan dengan itu , doa dan dzikir merupakan komitmen keimanan seseorang. Doa adalah permohonan yang dimunajatkan ke kehadirat Allah SWT. Dzikir adalah mengingat Allah SWT dengan segala sifat-sifat-Nya.
Secara umum dzikrullah adalah perbuatan mengingat Allah dan keagungannya dalam bentuk yang meliputi hampir semua ibadah, perbuatan baik, berdoa, membaca Al Quran, mematuhi orang tua, menolong teman yang dalam kesusahan dan menghindarkan diri dari kejahatan dan perbuatan dzalim. Dalam arti khusus dzikrullah adalah menyebut nama Allah sebanyak-banyaknya dengan memenuhi tatatertib, metode, rukun dan syarat sesuai yang diperintah oleh Allah dan rosulnya.
Dzikir dibagi tiga. Pertama, dzikir atas dzatnya, yakni pengucapan "laa ilaaha illallaah". Kalimat ini untuk menyeimbangkan dan menselaraskan hati dengan Sang Pencipta. Kedua dzikir atas ilmunya, yakni pengucapan Muhammadar Rosuulullah. Allah memberikan pengetahuan dengan perantaraan Rosul SAW. Melalui beliau dituturkan kepada yang berhak mendapatkan petunjuk. Ali R.A. adalah penghubungnya atau wasilah, sesuai hadits "Aku adalah kotanya ilmu, dan Ali adalah pintunya". Ketiga, dzikir atas af'al-Nya, yakni pengucapan "Fi kulli lamhatin wa nafasin Adada maa wasi'ahuu 'Ilmullah (sebanyak kedipan dan nafas mahluk, serta seluas Ilmu Allah).
Pengungkapan dzikir tersebut merupakan kalimat tafakkur atas penciptaan Allah berupa gerak nafas dzikir seluruh mahluk-Nya baik yang tidak terlihat. Penghayatan dzikir ini sesuai dengan firman Allah "Yakni orang-orang yang berdzikir kepada Allah dengan berdiri, duduk dan berbaring dan bertafakkur tentang penciptaan langit dan bumi." (QS. Ali Imran: 191)
Konsep penghayatan dzikir tidak berhenti pada pengucapan dan pelantunan dzikir semata, tetapi sentuhan jiwa kepada Allah Yang Rahman dan Rahim menjadi cermin utama dalam menyikapi berbagai keadaan dalam kehidupan. Allah SWT yang menjadi obyek pada saat kita dzikir akan berubah menjadi subyek, ketika perwujudan dan sifat-sifat Allah yang tampak pada setiap ciptaan-Nya mengambil tempat pada sikap dan perilaku yang berdzikir. Dengan bertafakkur pada kondisi demikian, kesadaran terhadap luasnya ilmu Allah akan tampak begitu nyata.
Dzikir kepada Allah bukan hanya semata-mata mengucapkan Asma Allah didalam lisan atau di dalam pikiran dan hati. Akan tetapi dzikir kepada Allah adalah ingat kepada Asma, Dzat, Sifat dan Af'al-Nya. Kemudian memasrahkan kepada-Nya hidup dan mati, sehingga tidak ada lagi rasa khawatir, takut maupun gentar dalam menghadapi segala macam mara bahaya dan cobaan.Berserah diri menjadi kata kunci dalam memasuki pengalaman untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Berserah diri tidak mungkin bila kita masih memiliki ego tentang diri kita masing-masing.
Hati bagaikan cermin. Setiap kali kita melakukan dosa maka ibarat debu yang menempel pada cermin. Ketika hati kita sudah bersih, alampun menyambut dengan seluruh aliran energi yang ada di permukaannya. Pada akhirnya masalah bukan lagi hal yang menakutkan, akan tetapi justru menjadi bumbu yang harus diramu menjadi energi untuk hisup. Energi yang mengalir dengan benar maka akan membawa keselarasan dalam hidup kita. Energi yang kita alirkan pada arah yang keliru, akan menghasilkan kerusakan seluruh dimensi kehidupan kita.
Psikoterapi Dzikir dan Doa
Psikoterapi dzikir dan doa dapat dijadikan psikoterapi untuk pengobatan keguncangan jiwa, kecemasan dan gangguan mental. Dzikir dan doa adalah metode kesehatan mental. Dengan berdzikir dan berdoa orang akan merasa dekat dengan Allah SWT dan berada dalam perlindungan dan penjagaannya. Dengan demikian akan timbul rasa percaya diri, teguh, tenang, tenteramdanbahagia.





Tahap Psikoterapi Doa

1. Tahap Kesadaran Sebagai Hamba
Pada tahap ini adalah tahap pembangkitan kesadaran. Kesadaran sebagai hamba dan kesadaran kelemahan manusia. Sebelum berdoa seorang hamba diharuskan untuk merendahkan diri kepada Allah. Pada kesadaran ini seseorang disadarkan akan gangguan kejiwaan atau penyakit sebagai bagian diri kemudian dimintakan kesembuhan kepada Allah.

2. Tahap Kesadaran Akan Kekuasaan Allah
Kesadaran akan kekuasan Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang, Yang memberi Kesembuhan akan sesuatu penyakit. Tahap ini menumbuhkan keyakinan kita kepada Allah atas kemampuan Allah dalam menyembuhkan.

3. Tahap Komunikasi
Berkomunikasi dengan Allah adalah suatu hal yang penting, tahap ini bisa berupa pengakuan dosa. Dengan hati yang bersih maka kontak dengan Allah akan lebih jernih.
Pengungapan kegundahan hati dan kesulitan yang dihadapi akan menumbuhkan rasa dekat dengan Allah. Permohonan doa kesembuhan terhadap apa yang dialami, jangan memaksakan kehendak agar Allah mengabulkan.Tahap menunggu dan diam, namun hati tetap mengadakan permohonan kepada Allah. Pada tahap ini kita pasrah kepada Allah dan mengikuti kemauannya Allah dan apa kehendak Allah. Maka dengan sikap ini diharapkan akan dapat menangkap jawabanAllah.

Proses Terapi Doa
1) Tumbuhkan niat dalam diri untuk disembuhan oleh Allah.
2) Rilekskan tubuh, kendorkan dari mulai kaki hingga kepala, jangan ada ketegangan otot.
3) Sadari kesalahan yang dirasakan, amati keluhan itu, ikuti dengan kesadaran bahwa kita lemah, tidak berdaya dan tidak memiliki kemampuan apa-apa.
4) Sadari kebesaran Allah melalui alam ciptaan-Nya, Dia yang memberi hidup dan mati, Dia yang memberi sembuh dan sakit.
5) Ungkapkan seluruh keluhan yang dirasakan kepada Allah.
6) Mintakan kesembuhAn kepada Allah
7) Tetap rilek dan masih pada posisi memohon kepada Allah
8) Pasrah kepada Allah sertai dengan keyakinan bahwa Allah menjawab doa yang dipanjatkan.
9) Menunggu jawaban doa, diam namun tetap ingat memohon kepada Allah).





















KESIMPULAN

Psikoterapi dzikir dan doa dapat dijadikan psikoterapi untuk pengobatan keguncangan jiwa, kecemasan dan gangguan mental. Dzikir dan doa adalah metode kesehatan mental. Dengan berdzikir dan berdoa orang akan merasa dekat dengan Allah SWT dan berada dalam perlindungan dan penjagaannya. Dengan demikian akan timbul rasa percaya diri, teguh, tenang, tenteram dan bahagia
Tahap Psikoterapi Doa
1. Tahap Kesadaran Sebagai Hamba
Pada tahap ini adalah tahap pembangkitan kesadaran. Kesadaran sebagai hamba dan kesadaran kelemahan manusia. Sebelum berdoa seorang hamba diharuskan untuk merendahkan diri kepada Allah. Pada kesadaran ini seseorang disadarkan akan gangguan kejiwaan atau penyakit sebagai bagian diri kemudian dimintakan kesembuhan kepada Allah.
2. Tahap Kesadaran Akan Kekuasaan Allah
Kesadaran akan kekuasan Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang, Yang memberi Kesembuhan akan sesuatu penyakit. Tahap ini menumbuhkan keyakinan kita kepada Allah atas kemampuan Allah dalam menyembuhkan.
3. Tahap Komunikasi
Berkomunikasi dengan Allah adalah suatu hal yang penting, tahap ini bisa berupa pengakuan dosa. Dengan hati yang bersih maka kontak dengan Allah akan lebih jernih.
Pengungapan kegundahan hati dan kesulitan yang dihadapi akan menumbuhkan rasa dekat dengan Allah. Permohonan doa kesembuhan terhadap apa yang dialami, jangan memaksakan kehendak agar Allah mengabulkan.Tahap menunggu dan diam, namun hati tetap mengadakan permohonan kepada Allah.


DAFTAR PUSTAKA

Darajat, Zakiah. Kesehatan Mental, (Jakarta: Gunung Agung, 2001).
Heny Narendrany Hidayati dan Andri Yudiantoro, Psikokolohi Agama, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007), Cet-1 hal 164
http://islamic.xtgem.com
http://m.cybermq.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar