Minggu, 07 Maret 2010

IBN THUFAIL
1. Biografi
Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Muhammad ibn Abd al-Malik ibn Muhammad ibn Muhammad Ibn Thufail al-Qaisyi. Di barat dikenal dengan Abubacer. Ia dilahirkan di Guadix, 40 mil di Timur Laut Granada pada 506 H (1110 M) dan meninggal di kota Maraqesh, Maroko pada 581 M (1185 M). sebagai seorang turunan suku Qaisy, suku Arab terkemuka, ia dengan mudah mendapatkan fasilitas belajar, apalagi kecintaannya kepada buku-buku dan ilmu pengetahuan mengalahkannya cintanya kepada sesame manusia. Hal ini mengantarkannya menjadi seorang ilmuan dalam banyak bidang—seperti lazimya ilmuan pada waktu itu—meliputi kedokteran, kesusastraan, matematika, dan filsafat. Kedokteran dan filsafat dipelajarinya di Sevile dan Gordova.
Pada waktu khalifah memintanya melanjutkan pekerjaan Ibn Bajjah untuk mengomentari karya Aristoteles, ia menamfik dan mengusulkan ilmuan muda, Ibn Rusyd (1169 M). Sikap Ibn Thufail menunjukan kematangan ilmunasy sehingga ia merasa perlu mempromosikan Ibn Rusyd pada jabatan terhomat dan pelanjut sesuai dengan sifat ilmunya yang progress. Tentu saja hal ini tidak terlepas dari minat khalifah terhadap ilmu sebagai factor pemicu.
Dalam bidang filsafat, Ibn Thufail dengan gigih menserasikan sains Yunani dengan hikmah timur, atau antara filsafat dengan agama. Wujud konkrit perpaduan ini tergambar dalam karyanya Hayy Ibn Yaqzhan (hidup anak sisadar). Tamsil yang dimunculkannya dalam roman filsafat ini sarat makna dan kritis.
Ibn Thufail mempunyai kedudukan penting dalam perkembangan filsafat di Dunia Islam Barat, karena posisinya sebagai penjelas dan pelanjut Ibn Bajjah dan perambah jalan untuk Ibn Rusyd. Ibn Bajjah mendekatkan filsafat Yunani dari Timur, sedangkan Ibn Rusyd mengantarkanya ke Barat setelah “diberi muatan keislaman.”

2. Karyanya
Sebenarnya Ibn Thufail lebih menggemari merenung daripada kecenderungan untuk menulis, karena itu tidak heran kalu hasil karyanya sedikit untuk generasi berikutnya. Namun, beberapa buku biografi menyebutkan bahwa ia sempat menulis bebebrapa buku dalam beberapa bidang: filsafat, fisika, kejiwaan dan kedokteran. Tetapi karangan tersebut hanya satu yang sampai kepada kita, Hayy Ibn Yaqzhan yang merupakan inti sari dari pemikiran-pemikiran Ibn Thufail, dan telah diterjemahakan kedalam beberapa bahasa. Menurut Montgomery Wat, buku inilah yang mungkin merupakan karya filsafat dalam bahasa Arab paling menarik. Suatu manuskrip di perpustakaan Escurial yang berjudul Asrar al-Hikamah al-Masyriqiyyah (rahasia-rahasia filsafat timur) hanyalah sebagai ringkasan dari buku Hayy tersebut. Nama lengkap buku tersebut adalah Risalah Hayy Ibn Yaqazhan fi Asrar al-Hikmah al-Masyriqiyyah. Adapun buku karangan lainya diperkirakan hilang dil saat terjadi kekacauan dan peperangan Magribi.
Tetapi, menurut Ibn Khatib ada dua buku tentang kedokteran yang dapat dikatakan merupakan karya ibn Thufail, setidaknya ditulis oleh dua orang muridnya yang dipersembahkan kepada Ibn Thufail, yaitu karya Al-Bithruji berjudul Kitab al-Hai’ah, dan karya Ibn Rusyd berjudul Fi al-Buqa’ al-Maskunah al-Ghair al-Maskunah.

3. Filsafatnya
Untuk memaparkan pandangan-pandangan filsafatnya, ibnu Thufail memilih metode khusus dalam bentuk kisah filsafat, dalam bukunya yang terkenal Hayy Ibnu Yaqzhan. Kisah ini di tulis oleh ibnu Thufail sebagai jawaban atas permintaan seorang sahabatnya yang ingin mengetahui hikmah ketimuran (al-hikmat al-masyriqiyyat). Selain itu berat dugaan tulisan ibnu Thufail ini erat kaitannya dengan serangan al-Ghazali terhadap dunia filsafat. Dikala itu, orang-orang takut berfilsafat dan usaha-usaha para filosof muslim yang telah mendamaikan filsafat dengan agama telah sirna sama sekali. Juga buku-buku filsafat yang selama ini hanya untuk orang-orang awam. Karena itu, amat logis buku Ibnu Thufail ini menetralisasi keadaan dan ingin mengembalikan filsafat ke tempat yang semula, yakni filsafat bukanlah “barang” haram. Pada sisi lain, agar filsafat dapat dimengerti oleh orang-orang awam, filsafat dikomunikasikan lewat kisah yang amat menarik. Biasanya komunikasi melaluin kisah (cerita), diminati dan cepat diterima. dengan demikian, bila hal ini dapat diterima, tujuan yang hendak dicapai Ibnu Thufail melebihi akibat serangan Al-Ghazali yakni ingin memasyarakatkan filsafat.
Dalam kisah tersebut dapat dilihat pendirian Ibnu Thufail tentang hubungan manusia dengan Allah, manusia dengan manusia, manusia dengan alam sekitarnya, dan hubungan antara akal dan agama.
Sebelum filsafat Ibnu Thufail dipaparkan lebih jauh, ada baiknya dikemukakan ringkasan kisah Hayy ibn Yaqzhan sebagai berikut.
Di kepulauan India ada sebuah pulau yang tidak berpenghuni manusia. Pulau itu sepi dan terpencil, beriklim sedang, dan terletak di garis Khatulistiwa yang oleh Harun Nasution dikatakan Kepulauan Indonesia. Pendapat ini ada benarnya karena kepulauan yang dilewati khatulistiwa memang Indonesia. Selain itu, kebiasaan masa lalu menyebut kepulauan timur ini dengan kepulauan India. di pulau ini lahir seorang bayi secara alamiah, tanpa ayah dan ibu. Berarti lewat tulisannya ini Ibnu Thufail mendukung teori evolusi.
Riwayat lain menyebutkan, seorang perempuan telah kawin rahasia dengan seorang laki-laki dan memperoleh seorang bayi laki-laki. Karena takut kepada kakaknya yang menjadi raja di tempat itu, perempuan ini memasukan bayinya ke dalam peti dan melemparkannya ke laut. Dengan hempasan ombak, peti itu tersangkut di pulau terpencil yang tidak berpenghuni manusia. Bayi yang dimaksud adalah Hayy. Seekor rusa yang anaknya baru saja mati segera mendekati peti. Bayi yang ada dalam peti itu ia kira anaknya. Sebagai lazimnya seoramg ibu, rusa menyusui bayi itu dan sebaliknya bayi itu memandang rusa yang menyusuinya sebagai ibunya.
Hayy tumbuh dengan sehat. Sejalan dengan pertumbuhan jasmaninya, jiwa dan pemikirannya semakin berkembang. Ia memperhatikan dan mulai berpikir tentang segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Lebih dari itu, ia mampu mempergunakan akalnya sedemikian rupa sehingga dapat memahami hakikat alam empiris dan mampu berpikir hal-hal yang bersifat metafisis. Pemikirannya yang mendalam tentang segala sesuatu yang dapat ditangkap pancaindera, menimbulkan keyakinan adannya Allah, Pencipta alam semesta. Dengan penuh kesungguhan dan keikhlasan, ia berusaha membebaskan dirinya dari dunia empiris melalui kontemplasi penuh kepada Allah. Akhirnya ia memperoleh apa yang ia kehendaki, yakni ittihad (menunggal dengan Allah) atau ittishal (berhubungan langsung) dengan Allah.
Di saat ia berada dalam situasi dan pengalaman esoteric seperti itu, ia berjumpa dengan seorang laki-laki, namanya Absal. Absal datang dari suatu pulau yang tidak jauh dari tempat tinggal Hayy. Di pulau ini ia berusaha untuk menjalankan ketakwaan dan kesalehan. Hayy tidak memahami bahasa manusia. Setelah Absal mengajarinya, keduanya berkomunikasi secara lancar, saling menceritakan pengalaman masing-masing, dan saling bertukar pikiran. Absal memberitahu Hayy tentang konsep-konsep Qur’ani, yang berkenaan dengan Allah, malaikat-malaikat, nabi-nabi, hari akhirat, dan lain-lain.
Melalui informansi yang diperoleh dari Absal, Hayy menyadari bahwa metode salafi yang ia miliki telah membawa dirinya ke tingkat pengetahuan dan ma’rifat yang sejalan dengan ajaran agama yang diceritakan Absal. Ia pun tahu bahwa orang-orang yang membawa keterangan-keterangan dengan ucapan yang benar itu adalah rasul dan ia percaya kepadanya dan mengakui kerosulannya. Sebaliknya, Hayy juga menjelaskan pengalamannya dengan Allah kepada Absal. Keterangan Hayy ini memperkuat keyakinan Absal tentang ajaran agama yang diterimanya dan bertemulah akal dan wahyu (al-manqul wa al-ma’qul).
1. Metafisika (Ketuhanan)
Dari hasil pengamatan dan pemikiran tentang alam semesta serta pengalaman hidupnya, Hayy sampai pada suatu kepastian bahwa alam ini diciptakan oleh Allah. Dengan akalnya, ia telah mengetahui adanya Allah. Dalam membuktikan adanya Allah Ibnu Thufail mengemukakan tiga argument sebagai berkut.


a. Argumen gerak (al-harakat)
Gerak alam ini menjadi bukti tentang adanya Allah, baik bagi orang yang menyakini alam baharu maupun bagi orang yang menyakini alam kadim.
Bagi orang yang menyakini alam baharu, berarti alam ini sebelumnya tidak ada, kemudian menjadi ada. Untuk menjadi ada mustahil dirinya sendiri mengadakan. Oleh karena itu, mesti ada penciptanya. Pencipta inilah yang menggerakan alam dari tidak ada menjadi ada, yang disebutnya Allah. Sementara itu, bagi orang yang menyakini alam kadim, ala mini tidak didahului oleh tidak ada dan selalu ada-gerak alam ini kadim, tidak berawal dan berakhir. Karena zaman tidak mendahuluinya, arti kata gerak ini tidak didahului oleh diam. Adanya gerak ini menunjukan secara pasti adanya Penggerak (Allah).
Secara faktual, di sinilah terletaknya keistimewaan argumen gerak Ibnu Thufail yang dapat membuktikan adanya Alla, baik bagi orang yang menyakini alam kadim maupun bagi orang yang menyakini alam baharu. Bagi orang yang menyakini alam kadim, penggerak ini berfungsi mengubah materi di alam dari potensial ke aktual, arti kata mengubah satu bentuk ada kepada bentuk ada yang lain. Sementara itu, bagi orang yang menyakini alam baharu, penggerak ini berfungsi mengubah alam dari tidak ada (al-‘adam) menjadi ada. Argument gerak ini-sebagai bukti alam kadim dan baharunya-belum pernah dikemukakan oleh filosof Muslim manapun sebelumnya. Dengan argument ini, Ibnu Thufail memperkuat argumentasi bahwa tanpa wahyu akal dapat mengetahui adanya Allah.
b. Argumen materi (al-madat) dan bentuk (al-shurat)
Argument ini, menurut ibnu Thufail, dapat membuktikan adanya Allah, baik bagi orang yang menyakini alam kadim maupun alam baharu. Argumen ini didasarkan pada ilmu fisika dan masih ada korelasinya dengan dalil yang pertama (al-harakat). Hal ini dikemukakan oleh ibnu Thufail dalam kumpulan pikiran yang terkait antara satu dengan lainnya, yakni sebagai berikut.
1) Segala yang ada ini tersusun dari materi dan bentuk.
2) Setiap materi membutuhkan bentuk.
3) Bentuk tidak mungkin bereksitensi penggerak.
4) Segala yang ada (maujud) untuk bereksitensi membutuhkan pencipta.
Dengan argument di atas dapat dibuktikan adanya Allah sebagai Pencipta alam ini. Ia Mahakuasa dan bebas memilih serta tidak berawal dan tidak berakhir.
Bagi orang yang menyakini alam kadim, pencipta ini berfungsi mengeksistensi wujud dari satu bentuk pada bentuk lain. Sementara itu, bagi orang yang menyakini alam baharu, Pencipta ini berfungsi menciptakan alam dari tidak ada menjadi ada. Pencipta (Allah) merupakan illat (sebab) dan alam merupakan ma’lul (akibat). Antara keduanya mempunyai perbedaan yang tajam dan tidak bisa disamakan dalam berbagai aspek, seperti Allah kekal dan kaya, sedangkan alam berkesudahan dan berkehendak.

c. Argument al-Ghaiyat dan al-inayat al-ilahiyat
Argument ini berdasarkan pada kenyataan bahwa segala yang ada di alam ini mempunyai tujuan tertentu. Ia merupakan inayah dari Allah. Argument ini pernah dikemukakan Al-Kindi dan Ibnu Siena sebelumnya. Tampaknya, argument ini lebih banyak diilhami oleh ajaran Islam. Tiga ‘illat (sebab) yang dikemukakan oleh Aristoteles, al-madat (materi), al-shurat (bentuk), dan al-failat (pencipta)- dilengkapi oleh ibnu Siena dengan ‘illat al-ghaiyat (sebab-tujuan).
Ibnu Thufail (juga filosof muslim lain), yang berpegang dengan argument ini, sesuai dengan Qur’ani menolak bahwa alam diciptakan oleh Allah secara kebetulan. Pencipta seperti itu bukan timbul dari Pencipta yang Maha Bijaksana.
Dalam hal zat dan sifat Allah ibnu Thufail sejalan dengan pendapat Mu’tazilah. Sifat-sifat Allah yang Maha Sempurna tidak berlainan dengan zat-Nya. Allah mengetahui dan berkuasa bukan dengan sifat ilmu dan kudrat yang melekat pada zat-Nya, tetapi dengan zat-Nya sendiri. Allah adalah pemberi wujud pada semua makhluk. Ia tidak mungkin dikhayalkan, karena khayalan hanya mungkin terjadi terhadap hal-hal inderawi.

2. Fisika
Menurut Ibnu Thufail alam ini kadim dan juga baharu. Alam kadim karena Allah menciptakannya sejak azali, tanpa didahlui oleh zaman (taqaddum zamany). Dilihat dari esensinya, alam adalah baharu karena terwujudnya alam (ma’lul). bergantung pada zat Allah (‘illat).
Pandangan ibnu Thufail mengenai kadim dan baharunya alam, tampaknya merupakan kompromi antara pendapat Aristoteles yang menyatakan alam kadim dengan ajaran kaum ortodok Islam yang menyatakan alam baharu. Untuk jelasnya, ibnuThufail memberikan contoh sebagai berikut.
Sebagaimana ketika anda menggenggam suatu benda, kemudian anda gerakan tangan anda, maka benda mesti bergerak mengikuti gerak tangan anda. Gerakan benda tersebut tidak terlambat di segi zaman dan hanya keterlambatan dari segi zat. Demikian alam ini seluruhnya merupakan akibat dan diciptakan oleh Allah tanpa zaman. Firman Allah: “Sesungguhnya keadaann-Nya, apabila Ia menghendaki sesuatu hanyalah berfirman kepada-Nya: Jadilah maka jadilah ia. (QS. Yasin: 50).

3. Jiwa
Jiwa manusia menurut ibnu Thufail, adalah makhluk yang tertinggi martabatnya. Manusia terdiri dari dua unsur, yakni jasad dan roh (al-madat wa al-ruh). Badan tersusun dari unsur-unsur, sedangkan jiwa tidak tersusun. Jiwa bukan jisim dan bukan pula suatu daya yang ada di dalam jisim. Setelah badan hancur atau mengalami kematian, jiwa lepas dari badan, dan selanjutnya jiwa yang pernah mengenal Allah selama berada dalam jasad akan hidup dan kekal.
Menurut ibnu Thufail (juga filosof muslim sebelumnya) jiwa terdiri dari tiga tingkat: dari yang rendah jiwa tumbuhan (al-nafs al- nabatiyat) ke tingkat yang lebih tinggi jiwa hewan (al-nafs hayawaniyat), kemudian ke tingkat jiwa yang martabatnya lebih tinggi dari keduanya jiwa manusia (al-nafs al-natiqat).
Mengenai keabadian jiwa manusia dan hubungannnya dengan Allah, ibnu Thufail mengelompokan jiwa dalam tiga keadaan berikut.
a. Jiwa yang sebelum mengalami kematian jasad telah mengenal Allah, mengagumi kebesaran dan keagungan-Nya, dan selalu ingat kepada-Nya, maka jiwa seperti ini akan kekal dalam kebahagiaan.
b. Jiwa yang telah mengenal Allah, tetapi melakukan maksiat dan melupakan Allah, jiwa seperti ini akan abadi dalam kesengsaraan.
c. Jiwa yang tidak pernah mengenal Allah selama hidupnya, jiwa ini akan berakhir seperti hewan.
Agaknya Ibnu Thufail meletakan tanggung jawab manusia di hadapan Allah atas dasar pengetahuannya tentang Allah. orang yang mengetahui Allah dan menjalankan kebaikan akan kekal dalam kebahagiaan. Orang yang mengetahui Allah, tetapi terus melakukan perbuatan maksiat akan kekal dalam kesengsaraan. Orang yang sama sekali tidak pernah mengetahui Allah, jiwanya akan lenyap seperti lenyapnya jiwa hewan.

4. Epistemologi
Dalam epistemology, ibnu Thufail menjelaskan bahwa ma’rifat itu dimulai dari pancaindra. Dengan pengamatan dan pengalaman dapat diperoleh pengetahuan indrawi. Hal-hal yang bersifat metafisis dapat diketahui dengan akal intuisi. Ma’rifat dilakukan dengan dua cara: pemikiran atau renungan akal, seperti yang dilakukan para filosof muslim, dan kasyf ruhany (tasawuf), seperti yang biasa dilakukan oleh kaum sufi. Kesesuaian antara nalar dan intuisi membentuk esensi epistemology Ibnu Thufail.
Ma’rifat dengan kasyf ruhany, menurut Ibnu Thufail, dapat diperoleh dengan latihan-latihan rohani dengan penuh kesungguhan. Semakin tinggi latihan ini, ma’rifat akan semakin jelas, dan berbagai hakikat akan tersingkap. Sinar terang yang akan menyenangkan, akan melingkup orang yang melakukannya. Jiwanya menjadi sadar sepenuhnya dan mengalami apa yang tidak pernah dilihat mata, didengar telinganya, dirasa oleh hati. Kasyf ruhany merupakan ekstase yang tidak dapat dilukiskan degan kata-kata sebab kata-kata hanya merupakan symbol-simbol yang terbatas pada pengalaman indrawi.

5. Rekonsiliasi (tawfiq) antara filsafat dan agama.
Melalui roman Filsafat Hayy ibn Yaqzhan, ibnu Thufail menekankan bahwa antara filsafat dan agama tidak bertentangan, dengan kata lain, akal tidak bertentangan dengan wahyu.
Allah tidak hanya dapat diketahui dengan wahyu, tetapi juga dapat diketahui dengan akal. Hayy yang bebas dari pengaruh ajaran nabi, dapat sampai ke tingkat tertinggi dari ma’rifat terhadap Allah, melalui akalnya dan melalui kasyf ruhany yang ia peroleh dengan jalan latihan kerohanian, seperti berpuasa, shalat dan lainnya.
Ibnu Thufail menokohkan Hayy sebagai personifikasi dari spirit alamiah manusia yang disinari (illuminated) dari “atas”. Spirit tersebut mesti sesuai dengan ruh Nabi Muhammad, yang ucapan-ucapannya perlu ditafsirkan secara metaforis.
Ibnu Thufail menyadari, mengetahui, dan berhubungan dengan Allah melalui pemikiran akal murni, yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang khusus (ahl al-ma’rifat). Orang awam tidak mampu melakukannya. Justru itu, bagi orang awam sangat diperlukan adana ajaran agama yang dibawa oleh nabi.
Agama yang diturunkan untuk semua orang dalam segala tingkatannya. Filsafat hanya dapat dijangkau oleh orang-orang yang bernalar tinggi yang jumlahnya sedikit. Agama melambangkan “dunia atas” (divine world) dengan lambang-lambang eksoteris.
Kenyataannya, ibnu Thufail berusaha dengan penuh kesungguhan untuk merekonsiliasikan antara filsafat dan agama. Hayy dalam roman filsafatnya, ia melambangkan sebagai akal yang dapt berkomunikasi dengan Allah. Sedangkan Absal, ia lambangkan wahyu (agama) dalam bentuk esoteris, yang membawa hakikat (kebenaran). Sementara, ia lambangkan sebagai wahyu (agama) dalam bentuk aksoteris, yang juga membawa kebenaran. Kebenaran yang dihasilkan fisafat tidak bertentangan (sejalan) dengan kebenran yang dikehendaki agama karena sumbernya sama, yakni Allah Swt.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar