Minggu, 07 Maret 2010

Hadhanah (pemeliharaan anak)

Perseteruan Zarima-Ferry Tentang Kepengasuhan Anak
PENDAPAT PENULIS
Perseteruan antara Zarima dengan Fery Juan dalam kepengurusan anak harus segera diselsaikan. Jika tidak segera diselsaikan akan berdampak buruk kepada perkembangan psikologis si anak. Apalagi umur si anak yang masih sangat kecil. Dia masih memerlukan perhatian dan kasih sayang dari orang tuanya.
Bila dilihat dari kasus antara Zarima dengan Fery, hak kepengasuhan anak harusnya jatuh ke tangan Zarimah. Hal ini disebabkan beberapa faktor; faktor yang pertama si anak umurnya masih kecil (balita). Dimana dia masih sangat memerlukan kasih sayang orang tuanya. Terutama disini adalah ibunya. Kenapa si ibu lebih berhak untuk mengasuh anak? Karena sang ibu biasanya lebih dekat dan lebih sayang terhadap anaknya. Tidak ada yang bisa menyamai kedekatannya dengan sang anak meskipun ibunya sendiri.
Faktor yang kedua, karena status hubungan antara Zarima dengan Ferry Juan tidak jelas ( katanya sih nikah sirri). Status yang tidak inilah yang membuat keadaan jadi runyam. Status yang tidak jelas ini pula yang membuat si anak jadi runyam dalam hal kepengasuahannya. Karena bukti otentik yang menjelaskan si anak ini siapa tidak ada. Misalnya akte kelahiran.
Faktor ketiga, masalah agama. Ferry Juan suami Zarima ini ternyata non muslim. hal ini lebih menegaskan lagi bahwa kepengasuhan anak harusnya jatuh ketangan Zarima. Karena bila si anak diasuh oleh Ferry Juan dikhawatirkan anak tersebut nantinya akan mengikuti agama ayahnya. Takutnya ada pemurtadan.
Dai uraian diatas dapat disimpulkan bahwa : apabila terjadi penceraian antara suami dan istri. Maka hak kepengasuhan anak jatuhnya pada sang ibu karena sang ibulah yang biasanya lebih sayang kepada anaknya. Tapi apabila si wanita itu menikah lagi maka hak kepengasuhan anaknya jadi gugur.



PENDAPAT ULAMA
PEMELIHARAAN ANAK (HADHANAH)
A. Pengertian dan Dasar Hukum
Hadonah berasal dari kata Hidban, yang berarti lambung. Seperti kalimat
hadbana ath-thaairu baidhabu, “burung itu mengepit telur dibawah sayapnya,” begitu juga dengan perempuan (Ibu) yang mengasuh anaknya.
Hadhanah menurut bahasa berarti “meletakkan sesuatu dekat tulang rusuk atau di pangkuan”, karena ibu waktu menyusukan anaknya meletakkan anak itu dipangkuannya, seakan-akan ibu di saat itu melindungi dan memelihara anaknya, sehingga ‘hadhanah’ dijadikan istilah yang maksudnya :”pendidikan dan pemeliharaan anak sejak dari lahir sampai sanggup berdiri sendiri mengurus dirimya yang dilakukan oleh kerabat anak itu.
Para ulama fiqih mendefinisikan hadhanah yaitu melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki maupun perempuan, atau yang sudah besar tetapi belum mumayyiz, menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya, agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan menutur tanggung jawab.
Hadhanah berbeda maksudnya dengan pendidikan (tarbiyah). Dalam hadhanah terkandung pengertian pemeliharaan jasmani dan rohani terkandung pula pengertian pendidikan terhadap anak. Pendidik mungkin terdiri dari keluarga sianak, dan mungkin bukan dari keluarga si anak, dan ia merupakan pekerjaan social, sedangkan hadhanag dilaksanakan dan dilakukan oleh keluarga si anak, kecuali jika anak tidak mempunyai keluarga serta ia bukan professional; dilakukan oleh setiap ibu, serta anggota kerabat yang lain. Hadhanah merupakan hak dari hadhin, sedangkan pendidikan belum tentu merupakan hak dari pendidik.
Dasar hukum hadhanah (pemeliharaan anak) adalah firman Allah:
        ••              
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”

B. Yang Berhak Melakukan Hadhanah
Seorang anak pada permulaan hidupnya samapai pada umur tertentu memerlukan orang lain untuk membantunya dalam kehidupannya, seperti makan, pakaian, membersihkan diri, bahkan sampai kepada pengeturan bangun dan tidur. Karena itu orang yang menjaganya perlu mempunyai rasa kasih saying, kesabaran dan mempunyai keinginan agar anak itu menjadi shaleh dikemudian hari. Oleh karena itu, orang yang berhak melakukan hadhanah yaitu:
1. Anak ibu tersebut
Menurut Imam Malik dalam Kitab Muwattha dari Yahya bin Said,
berkata Qosim bin Muhammad bahwa Umar bin Khattab mempunyai seorang anak, namanya Ashim bin Umar, kemudian ia bercerai. Pada suatu waktu, Umar pergi ke Quba dan menemui anaknya itu sedang bermain-main didalam masjid. Umar mengambil anaknya itu dan meletakkan diatas kudanya. Pada waktu itu, datanglah nenek si anak, Umar berkata,” Anakku”. Wanita itu berkata pula,”Anakku”. Maka dibawalah perkara itu kepada Khalifah Abu Bakar. Abu Bakar memberi keputusan bahwa anak umar itu ikut ibunya, dengan dasar yang dikemukakannya, yaitu sabda rasulullah SAW:






Rasulullah SAW bersabda: Barang siapa yang memisahkan antara seorang ibu dengan anaknya niscaya Allah akan memisahkan antara orang itu dengan kekasihnya di Hari Kiamat.
Karena itu, hendaklah hakim, wali, bekas suami atau orang lain berhati-hati dalam memberi keputusan atau berusaha memisahkan seorang ibu dengan anaknya mengingat ancaman Rasulullah dalam hadits di atas.
2. Nenek.dari pihak ibu
3. Nenek dari pihak ayah
4. Saudara sekandung perempuan anak tersebut
5. Saudara perempuan ibu
6. Saudara perempuan ayah
7. Anak perempuan dari saudara perempuan sekandung
8. Anak perempuan dari saudara perempuan seayah
9. Saudara perempuan ibu yang sekandung dengan-nya
10. Saudara perempuan ibu yang seibu dengan-nya (bibi)
11. Saudara perempuan ibu yang seayah dengan-nya.

C. Syarat-Syarat Hadhinah dan Hadhin
Untuk kepentingan anak dan pemeliharaannya, diperlukan syarat-syarat bagi hadhinah dan hadhin. Syarat-syarat itu ialah:
1. Tidak terikat dengan suatu pekerjaan yang menyebabkan ia tidak melakukan Hadhanah dengan baik, seperti hadhinah terikat dengan pekerjaan yang berjauhan tempatnya dengan tempat si anak, atau hamper seluruh waktunya dihabiskan untuk bekerja.
2. Hendaklah ia orang yang mukallap, yaitu telah baligh, berakal, dan tidak terganggu ingatannya. Hadhanah adalah suatu pekerjaan yang penuh dengan tanggung jawab, sedangkan orang yang bukan mukallap adalah orang yang tidak dapat mempertanggung jawabkan perbuatan.
3. Hendaklah mempunyai kemampuan melakukan hadhanah.
4. Hendaklah dapat menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak, terutama yang berhubungan dengan budi pekerti.
5. Hendaklah Hadhinah tidak bersuamikan laki-laki yang tidak ada hubungan mahram dengan si anak. Jika ia kawin dengan laki-laki yang ada hubungan mahram dengan si anak, maka hadhinah itu berhak melaksanakan hadhanah, seperti ia kawin dengan paman si anak.
6. Hadhinah hendaklah orang yang tidak membenci si anak. Jika hadhinah orang yang memenci si anak, dikhawatirkan anak berada dalam kesengsaraan.
D. Masa Hadhanah
Tidak terdapat ayat-ayat Al Quran dan Hadits yang menerangkan bahwa dengan tegas tentang masalah hadhanah, hanya terdapat isyarat-isayarat yang menerangkan ayat-ayat tersebut. Karena itu para ulama berijtihad sendiri-sendiri dalam menetapkan dengan berpedoman kepada isyarat-isyarat itu.
Seperti menurut mazhab Hanafi: Hadhanah anak laki-laki berakhir pada saat anak itu tidak lagi memerlukan penjagaan dan telah dapat mengurus keperluannya sehari-hari, seperti makan dan minum dan sebaginya. Sedangkan masa hadhanah wanita berakhir apabila ia telah baligh atau telah dating masa haid pertamanya. Pengikut mazhab Hanafi yang teakhir ada yang menetapkan bahwa masa hadhanah itu berakhir umur 19 tahun bagi laki-laki dan umur 11 tahun bagi wanita.
Mazhab Syafi’I berpendapat bahwa masa hadhanah itu berakhir setelah anak mumayyiz, yakni berumur antara 5-6 tahun.
E. Upah Hadhanah
Ibu tidak berhak atas upah hadhanah, seperti upah menyusui, selama ia masih menjadi istri dari ayah anak kecilitu, atau selama masih dalam iddah. Karena dalam keadaan tersebut ia masih mempunyai nafkh sebagai istri atau nafkah masa iddah.
Allah berfirman :
          •                                                   •    •   •     
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi makan dan Pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan Karena anaknya dan seorang ayah Karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan Ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.”
Seorang ayah wajib membayar upah penyusuan dan hadhanah, juga wajib membayar ongkos sewa rumah atau perlengkapannya jika sekiranya si ibu tidak memiliki rumah sendiri sebagai tenpat mengasuh anak kecilnya. Dia juga wajib membayar gaji pembantu rumah tangga jika si ibu membutuhkannya, dan ayah memiliki kemampuan untuk itu. Tetapi kalau ayahnya tidak mampu, ia boleh menyerahkan anak itu kepada kerabatnya yang perempuan untuk mengasuhnya dengan sukarela, dengan syarat perempuan ini dari kalangan kerabat si anak kecil dan pandai mengasuhnya. Hal ini berlaku apabila nafkah itu wajib ditanggung oleh ayah. Apabila anak kecil, itu sendiri memiliki harta untuk membayar nafkahnya, maka anak kecil inilah yang membayar kepadan pengasuh suka relanya. Disamping untuk menjaga hartanya, juga karena ada salah seorang kerabatnya yang men jaga dan mengasuhnya. Tetapi jika ayahnya tidak mampu, sianak kecil sendiri juga tidak memiliki harta, sedangkan ibunya tidak mau mengasuhnya kecuali kalau dibayar, dan tidak seorang kerabatpun yang mau mengasuhnya dengan suka rela, maka ibu dapat diapaksa untuk mengasuhnya, sedangkan upah (bayarannya) menjadi hutang yang wajib dibayar oleh ayah, dan bisa gugur setelah dibayar atau dibebaskan.





















DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Selamet dan Aminudin, Fiqih Munakahat, Bandung: CV Pustaka Setia, 1999.
Derajat, Zakia, Ilmu Fiqih, Jogjakarta: Dana Bakti Wakap, 1995.
Ghazali, Abdurahman, Fiqih Munakahat, Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2006.
Sabiq, Sayyid, Fiqih Sunnah, Jakarta : Pena Pundi Aksara. 2006.
‘Uwaidah, Syaikh Kamil Muhammad, Fiqih Wanita, Jakarta: Pustaka Alkautsar, 1998.

1 komentar: