Minggu, 07 Maret 2010

Fiqh Munakahat

’’BATALNYA PERKAWINAN’’

I.PENDAHULUAN
Dalam perkawinan terdapat sebuah pengertian fasakh atau batalnya perkawinan. Fasakh atau batalnya perkawinan ini bisa terjadi karena tidak terpenuhinya syarat- syarat ketika berlangsung akad nikah atau karena hal- hal lain yang datang kemudian dan membatalkan kelangsungannya perkawinan.

II.PEMBAHASAN
Pengertian Fasakh (Batalnya Perkawinan)
Fasakh artinya putus atau batal.Batal yaitu rusaknya hukum yang ditetapkan terhadap suatu amalan seseorang, karena tidak memenuhi syarat dan rukunnya sebagaimana yang telah ditetapkan oleh syara. Selain tidak memenuhi syarat dan rukun juga perbuatan itu dilarang dan diharamkan oleh agama. Jadi, secara umum batalnya perkawinan yaitu rusak atau tidak sahnya perkawinan karena tidak memenuhi salah satu syarat atau salah satu rukunnya, atau sebab lain yang dilarang atau diharamkan oleh agama. Contoh perkawinan yang batal atau tidak sah, yaitu perkawinan yang dilangsungkan tanpa calon mempelai laki- laki atau calon mempelai perempuan. Perkawinan semacam ini batal atau tidak sah karena tidak terpenuhi salah satu rukunnya, yaitu tanpa calon mempelai laki- laki atau perempuan. Contoh lain yang saksinya orang gila, atau perkawinan yang walinya bukan muslim atau masih anak- anak, atau perkawinan yang calon mempelai perempuan benar- benar saudara kandung laki- laki. Yang dimaksud memfasakh akad nikah adalah memutuskan atau membatalkan ikatan hubungan antara suami dan istri.
Fasakh karena syarat- syarat yang tidak terpenuhi ketika akad nikah, antara lain:
a. setelah akad nikah, ternyata diketahui bahwa istri merupakan saudara sepupu atau saudara sesusuan pihak suami;
b. suami istri masih kecil, dan diadakannya akad nikah oleh selain ayah atau datuknya. Kemudian setelah ia dewasa ia berhak meneruskan ikatan perkawinannya dahulu atau mengakhirinya. Khiyar ini dinamakan khiyar balig. Jika yang dipilih mengakhiri ikatan suami istri, maka yang ini disebut fasakh balig.
Fasakh karena hal- hal yang datang setelah akad, antara lain;
a. bila salah seorang dari suami istri murtad atau keluar dari islam dan tidak mau kembali sama sekali, maka akadnya batal (fasakh) karena kemurtadan yang terjadi belakangan;
b. jika suami yang tadinya kafir masuk Islam, tetapi istri masih tetap dalam kekafirannya yaitu tetap menjadi musyrik, maka akadnya batal (fasakh). Lain halnya kalau istri orang ahli kitab, maka akadnya tetap sah seperti semula. Sebab perkawinannya dengan ahli kitab dari semulanya dipansdang sah.

Bentuk pernikahan yang dibatalkan dalam Islam adalah sebagai berikut:
A. Pergundikan
Selama ini, pergundikan yang dilakukan decara tersembunyi dianggap oleh kalangan masyarakat sebagai tidak apa- apa, tetapi kalau dilakukan secara terang- terangan dianggap tercela.
Pernikahan semacam ini disebutkan dalam firman Allah,
’’...dan tidak (pula) menjadikan gundik- gundik...’’(Al- Maidah (5):5)
B. Tukar- Menukar Isteri
Seorang laki- laki mengatakan kepada temannya,’’Ambillah istriku dan kuambil istrimu dengan tambahan sekian’’.
Daraquthni meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah dengan sanad yang sangat lemah yang menerangkan bahwa Aisyah r.a. pernah menyebutkan bentuk pernikahan lain selain dari dua pernikahan di atas. Ia mengatakan bahwa bentuk pernikahan di zaman Jahiliah itu ada 4 macam, yaitu sebagai berikut:
1. Pernikahan pinang.
2. Perikahan pinjam(gadai).
3. Sejumlah laki- laki (di bawah sepuluh orang) secara bersama- sama menyetubuhi seorang perempuan.
4. Perempuan- perempuan yang tidak menolak untuk digauli oleh banyak laki- laki.
Sesudah Muhammad saw.menjadi rasul, semua bentuk pernikahan tersebut dihapuskan, kecuali bentuk pernikahan yang pertama (meminang) saja.
Pernikahan yang masih tetap dilaksanakan oleh Islam ini hanya sah jika rukun- rukunnya, seperti ijab qabul dan kehadiran para saksi dipenuhi. Apabila rukun- rukunnya telah terpenuhi maka akad yang menghalalkan suami istri hidup bersenang- senang sebagaimana ditentukan Islam menjadi sah. Selanjutnya, masing- masing istri mempunyai tanggung jawab dan hak- hak yang lazim.

Hal- hal yang membatalkan pernikahan:
a. jika si istri gila, menderita penyakit kusta atau sopak (belang);
b. karena ada penyakit menular padanya, seperti sipilis, TBC dan lain- lain;
c. karena ada daging tumbuh pada kemaluan perempuan yang menghambat masuk perkawinan (bersetubuh);
Dijelaskan dalam suatu riwayat:


Artinya:
Dari Ali r.a. berkata, ’’Barangsiapa laki- laki yang mengawini perempuan lalu dukhul dengan perempuan itu, maka diketahuinya perempuan itu terkena balak, gila atau, berpenyakit kusta, maka hak baginya mas kawinnya dengan sebab menyentuh (menyampuri) perempuan itu, maka mas kawin itu hak bagi suami ( supaya dikembalikan) dan utang di atas orang yang telah menipunya dari perempuan itu. Dan kalau didapatinya ada daging tumbuh ( difarajnya, hingga menghalangi jima’) suami itu boleh khiyar. Apabila ia telah menyentuhnya, maka hak baginya mas kawin sebab barang yang telah dilakukannya dengan farajnya.



d. karena unah, yaitu impoten (tidak hidup untuk jima’), sehingga tidak mencapai apa yang dimaksudkan dengan nikah;
e. jika si suami murtad sedangkan istrinya masih tetap muslimah;
f. jika si istri murtad, sedangkan suaminya masih tetap sebagai seorang muslim;
g. jika si istri disetubuhi oleh ayah atau kakeknya karena faktor ketidaksengajaan maupun dengan maksud menzinahinya;
h. jika kedua pihak saling berli’an;
i. jika keduanya sama- sama murtad;
j. jika salah satunya meninggal dunia. Dimana dalam hal ini tdak ada perbedaan pendapat.
Undang- undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 22 menegaskan: ‘’Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat- syarat untuk melangsungkan perkawinan”.
Dalam mengemukakan jenis perkawinan yang dapat dibatalkan, kompilasi lebih sistematis daripada Undang- undang Perkawinan. Pasal 70 dan 71 mengatur masalah ini, sementara dalam undang- undang perkawinan, diatur dalam pasal 22, 24, 26. Pasal 23 mengatur tentang pihak yang dapat mengajukan pembatalan, dan pasal 25 tentang tempat dimana pembatalan tersebut diajukan.
Macam- macam perkawinan yang dapat dibatalkan, dapat dikemukakan sebagai berikut:
Pasal 24:
Barangsiapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak, dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 Undang- undang ini.
Pasal 26:
(1) Perkawinan yang dilangsungkan di muka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah, atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh dua orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami isteri, jaksa dan suami atau isteri.
(2) Hak untuk membatalkan oleh suami atau isteri berdasarkan alasan dalam ayat 1 pasal ini gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami isteri yang dapat memperlihatkan akte perkawinan yang dibuat pegawai pencatat yang tidak berwenang dan perkawinan harus diperbaharui supaya sah.
Dalam sistematika yang berbeda, kompilasi mengaturnya sebagai berikut:
Pasal 70: Perkawinan batal apabila:
a. Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang isteri, sekalipun salah satu dari keempat isterinya itu dalam iddah talak raj’i.
b. Seseorang menikahi bekas isterinya yang telah dili’annya.
c. Seseorang menikahi bekas isterinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bila bekas isteri tersebut pernah menikahi dengan pria lain yang kemudian bercerai lagi ba’da dukhul dari pria tersebut dan telah habis masa iddahnya.
d. Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah, semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut pasal 8 Undang- undang Nomor 1 Thun 1974.
e. Isteri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri atau isteri- isterinya.
Pasal 71: Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila:
a. Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama.
b. Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi isteri pria lain yang mafqud (hilang tidak diketahui beritanya).
c. Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dari suami lain.
d. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 Undang- undang Nomor 1 Tahun 1974.
e. Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak.
f. Perkawinan yang dilaksanakan degan paksaan.
Adapun pasal 27 Undang- undang Perkawinan, sebagaimana pasal 72 Kompilasi mengatur hak- hak suami atau istri untuk mengajukan pembatalan manakala perkawinan dilangsungkan dalam keadaan diancam, ditipu atau salah sangka.
Pasal 27 UU Perkawinan:
(1) Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum.
(2) Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau istri.
Lihat pasal 72 Kompilasi ayat (1) dan (2).
Mengenai orang- orang yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan, diatur dalam pasal 23 jo. UU Nomor 1 Tahun 1974 pasal 73 Kompilasi Hukum Islam, yaitu:
a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri.
b. Suami atau istri.
c. Pejabat yang berwenang hanya serlama perkawinan belum diputuskan.
d. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) pasal 16 Undang- undang ini dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.
Pada pasal 74 Kompilasi mengatur cara beracara dalam permohonan pengajuan pembatalan perkawinan, dan mengatur kapan mulai berlakunya keputusan pembatalan perkawinan tersebut yang dalam Undang- Undang Perkawinan diatur dalam pasal 28. Pasal 74 KHI berbunyi:
1. Permohonan pembatalan perkawinan dapat diajukan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal suami atau istri atau tempat perkawinan dilangsungkan.
2. Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan Pengadilan Agama mempunyai kekuatan hukum yang tepat dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.

Pasal 76 KHI berbunyi:
Batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya.

Pelaksanaan fasakh
Apabila terdapat hal- hal atau kondisi penyebab fasakh itu tidak jelas, dan dibenarkan syara’, maka untuk menetapkan fasakh tidak diperlukan putusan pengadilan. Misalnya terbukti bahwa suami itu masih saudara kandung, saudara susuan atau sebagainya. Akan tetapi, bila terjadi hal- hal seperti berikut, maka pelaksanaannya adalah:
1. Jika suami tidak memberi nafkah bukan karena kemiskinannya sedang hakim telah pula memaksa dia untuk itu. Dalam hal ini, hendaklah diadukan lebih dahulu kepada pihak yang berwenang, seperti Qadi nikah di Pengadilan Agama, supaya yang berwenang dapat menyelesaikannya sebagaimana mestinya. Seperti dijelaskan dalam satu riwayat berikut:





Artinya:
’’ Dari Umar r.a bahwa ia pernah berkirim surat kepada pembesar- pembesar tentara, tentang laki- laki yang telah jauh dari istri- istri mereka supaya pemimpin- pemimpin itu menangkap mereka, agar mereka mengirimkan nafkah, atau menceraikan istrinya. Maka bila mereka telah menceraikannya, hendaklah mereka kirim semua nafkah yang telah mereka tahan.
2. Setelah hakim memberi janji kepadanya sekurang- kurangnya tiga hari mulai dari istri itu mengadu. Bila masa perjanjian itu telah habis, sedangkan si suami tidak juga dapat menyelasaikannya, barulah hakim memfasakhkan nikahnya. Atau dia sendiri yang memfasakhnya di muka hakim setelah diizinkan olehnya.

Akibat hukum fasakh
Pisahnya suami istri akibat fasakh berbeda dengan yang diakibatkan oleh talak. Sebab talak ada talak ba’in dan talak raj’i. Talak raj’i tidak mengakhiri ikatan suami istri dengan seketika. Sedang talak ba’in mengakhirinya seketika itu juga. Adapun fasakh, baik karena hal- hal yang datang belakangan ataupun karena adanya syarat- syarat yang tidak terpenuhi, maka ia mengakhiri ikatan pernikahan seketika itu juga. Selain itu, pisahnya suami istri yang diakibatkan talak dapat mengurangi bilangan talak itu sendiri. Jika suami menalak istrinya dengan talak raj’i, kemudian kembali pada masa iddahnya, atau akad lagi setelah habis masa iddahnya dengan akad baru, maka perbuatannya terhitung satu talak, yang beraerti ia masih ada kesempatan tiga kali talak.
Sedangkan pisahnya suami karena fasakh, hal ini berarti tidak mengurangi bilangan talak, meskipun terjadinya fasakh karena khiyar balig, kemudian kedua suami istri tersebut menikah dengan akad baru lagi, maka suami tetap mempunyai kesempatan tiga kali talak.
Ahli fiqh golongan Hanafi membuat rumusan umum untuk membedakan pengertian pisahnya suami istri sebab talak dan sebab fasakh. Mereka berkata:’’Pisahnya suami istri karena suami, dan sama sekali tidak ada pengaruh istri disebut talak. Dan setiap perpisahan suami istri karena istri, bukan karena suami dan sama sekali tidak ada pengaruh istri disebut talak. Dan setiap perpisahan suami istri karena istri, bukan karena suami, atau karena suami tetap dengan pengaruh dari istri disebut fasakh.
Bunyi lafal fasakh itu umpamanya:’’ Aku fasakhkan nikahmu dari suamimu yang bernama: ...bin: ... pada hari ini’’. Kalu fasakh itu dilakukan oleh istri sendiri di muka Hakim, maka ia berkata:’’ Aku fasakhkan nikahku dari suamiku yang bernama: ...bin: ...pada hari ini’’. Setelah fasakh itu dilakukan, maka perceraian itu dinamakan talak ba’in. Kalau suami hendak kembali kepadanya, maka haruds dengan nikah lagi dengan akad baru. Sedang iddahnya sebagai iddah talak biasa.

III.KESIMPULAN
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa batalnya suatu perkawinan dapat disebabkan karena adanya syarat- syarat yang tidak terpenuhi dalam akad nikah. Selain itu, batalnya perkawinan juga disebabkan karena si istri atau mempelai wanita menderita penyakit belang kulit, gila dan lain sebagainya dan hal itu menjadi batal apabila suami mengetahuinya sebelum berhubungan badan dan apabila suami baru mengetahuinya setelah berhubungan badan, maka maharnya tetap menjadi milik si istri atas hubungan badan yang telah dilakukan . Namun wali dari istri harus memberikan mahar yang serupa kepada si suami atas perbuatannya menipu dan membohonginya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar