Minggu, 07 Maret 2010

As'ariyah

PENDAHULUAN
Al Asy’ari adalah nama sebuah kabilah Arab terkemuka di Bashrah, Irak. Dari kabilah ini muncul beberapa orang tokoh terkemuka yang turut mempengaruhi dan mewarnai sejarah peradaban umat Islam. Di antaranya adalah Abu Musa Asy’ari, salah seorang shahabat yang terkenal shaleh dan mendalam keilmuannya. Sedangkan tokoh lainnya adalah Abu al-Hasan Ali bin Ismail bin Ishak bin Salim bin Ismail bin Abdullah bin Musa bin Bilal bin Abi Bardah al Asy’ari, tokoh yang kemudian dinisbahkan sebagai ulama ‘pendiri’ paham Asy’ariyah. Aliran Asy’ariyah muncul sebagai reaksi terhadap aliran-aliran yang muncul sebelumnya. Penamaannya dinisbahkan kepada Abu Hasan Ali al-Asy’ari yang semula adalah seorang pengikut Mu’tazilah. Aliran ini berusaha menghidupkan kembali pemahaman keagamaan kepada al-Qur’an dan al-Hadith sebagaimana yang dipahami dan dipraktekkan oleh generasi salaf tetapi dengan mempergunakan argumentasi bercorak kalamiyah.
Asy’ari percaya bahwa fungsi akal adalah sebatas mengetahui hal-hal yang empiri (kongkrit), sedangkan wahyu memberi informasi tentang hal-hal yang lebih luas termasuk soal metafisika. Ia menerima keabsahan khabar ahad sebagai hujjah dalam bidang akidah. Terkait persoalan iman, Asy’ari mendefinisikannya sebagai tasdiq (pengakuan atau pembenaran) dengan hati, lisan dan perbuatan. Iman bersifat fluktuatif, dapat bertambah dan berkurang (yazid wa yanqus). Dengan demikian, pelaku dosa besar dipandang tetap sebagai seorang mukmin selama mengimani Allah dan Rasul-Nya. Hanya saja ia ‘asi atau mukmin yang berbuat maksiat. Perkara dosanya diserahkan sepenuhnya kepada Allah di akhirat kelak. Tidak seperti Mu’tazilah, terkait aspek ketuhanan Asyariyah meyakini bahwa Tuhan mempunyai sifat. Kalam Allah yang menurut Mu’tazilah adalah makhluk, menurut Asyariyah perlu dibedakan pengertiannya menjadi kalam majazi dan kalam nafsi.
PEMBAHASAN
Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Aliran Asy’ariyah
Term Asyariah (ahli Sunnah dan Jama’ah) timbul sebagai reaksi terhadap paham-paham golongan mu’tazilah yang telah dijelaskan sebelumnya dan terhadap sikap mereka dalam menyiarkana ajaran-ajaran itu. Mulai dari Wasil, usaha-usaha telah dijalankan untuk menyebarkan ajaran-ajaran itu disamping usaha-usaha yang dijalankan dalam menentang serangan musuh-musuh Islam. Menurut Ibn al-Murtada, Wasil mengirimkan murid-muridnya ke Khurasan Armenia, Yaman, Maroko dan lain-lain. Kelihatannya murid-murid itu berhasil dalam usaha-usaha mereka karena menurut Yaqut di Tahart, suatu tempat di dekat Tilimsan di Maroko, terdapat kurang lebih 30 ribu pengikut Wasil. Mulai dari thin 100 H atau 718 M, kaum Mu’tazilah dengan perlahan-lahan memperoleh pengaruh dalam masyarakat Islam. Pengaruh itu mencapai puncaknya pada khalifah-khallifah Bani ‘Abbas al-Ma’mun al-Mu’tasim dan al-Wasiq (813-847M), apalagi setelah al-Ma,mun di tahun 827 M mengakui aliran Mu’tazilah sebagai mazhab resmi yang dianut Negara.
Bertentangan dengan faham qadariah yang dianut mu’tazilah dan yang menganjurkan kemerdekaan dan kebebasan manusia dalam berpikir, kemauan dan perbuatan, pemuka-pemuka Mu’tazilah memakai kekerasan dalam usaha menyiarkan ajaran-ajaran mereka. Ajaran yang ditonjolkan ialah faham bahwa al-Quran tidak bersifat qadim, tetap baharu dan diciptakan. Faham adanya yang qadim di samping Tuhan bagi kaum Mu’tazilah seperti dijelaskan sebelumnya berarti menduakan Tuhan. Menduakan Tuhan adalah syirik dan syirik adalah dosa besar. Ujian dihadapkan kepada pemuka-pemuka tertentu dari masayarakat, karena orang yang haruslah orang yang betul-betul mngikuti faham tawhid. Ahli fikih dan ahli hadis di waktu itu mempunyai pengaruh besar dalam masyarakat. Diantara yang diuji terdapat Ahmad bin Hanbal. Pemuka-pemuka yang ikut diuji bersama-sama dengan Ibn Hanbal berjumlah kira-kira 30 orang, dan dalam ujian-ujian ulangan selanjutnya hanya Ibn Hanbal dan Muh ibn Nuh yang bersikeras dan tidak mau mengubah keyakinan. Yang lainnya dibebaskan, tetapi Ibn Hanbal dan temannya dibelenggu dan dikirim dengan beberapa orang lain kepada al-Ma’mun di Tarsus. Sikap Ibn Hanbal yang dengan keberaniannya dan tak takut mati mempertahankan keyakinannya membuat ia mempunyai banyak pengikut dikalangan umat Islam yang tak sepaham dengan kaum Mu’tazilah. Sungguhpun pemuka-pemuka yang lain menemui ajal dengan hukuman bunuh, al-Mutasim dan Wasiq (824-847) tak berani menjatuhkan hukuman bunuh atas dirirnya.
Tetapi peristiwa itu merugikan kaum Mu’tazilah. lawan mereka menjadi banyak; terutama dikalangan rakyat biasa yang tak dapat menyelami ajaran-ajaran mereka yangbersifat rasional dan fillosofis itu. Selanjutnaya, kaum Mu’tazilah tidak begitu banyak berpegang pada Sunnah (Hadits), bukan meeka tidak percaya pada tradisi Nabi dan para sahabat, tetapi karena mereka ragu akan keoriginalan hadits itu. Dengan demikian kaum Mu’tazilah, di samping golongan minoritas, mereka juga golongan yang tidak kuat bepegang pada sunnah (hadits). Mungkin inilah yang menimbulkan term ahli sunnah dan jama’ah, yaitu golongan yang bepegang kepada sunnah lagi merupakan mayoritas, sebagai lawan bagi golongan Mu’tazilah yang bersifat minoritas dan tak kuat bepegang pada sunnah. Maka sunnah dalam term ini berarti Hadis. Sebagai diterangkan Ahmad Amin, Ahli sunnah dan jama’ah, belainan dengan kaum Mu’tazilah, percaya dan menerima hadis-hadis sahih tanpa memilih dan tanpa interpretasi.
Tem ini kelihatannya banyak dipakai sesudah timbulnya aliran al-Asya’ri yang menentang ajararan Mu’tazilah. dalam hubungan ini Tasy Kubra Zadah menerangkan:…”dan aliran Ahli Sunnah dan Jama’ah muncul atas keberanian dan usaha Abu Hasan al-Asya’ri di sekitar tahun 300 H, karena ia lahir tahun 260 H, dan menjadi pengikut Mu’tazilah selam 40 Tahun. Dengan kata lain al-Asya’ri keluar dari golongan Mu’tazilah sekitar tahun 300 H dan selanjutnya membentuk aliran teologi yang kemudian dikenal dengan namanya sendiri yaitu Asy’ariyah. Bagaimanapun, yang dimaksud dengan Ahli Sunnah dan Jama’ah di dalam lapangan teologi Islam adalah kaum Asy’ariyah.
Abu Hasan Ali Ibn Isma’il al-Asy’ari lahir di Basrah di tahun 873 M dan wafat di Bagdad pada tahun 935 M. pada mulanya ia adalah murid al-Jubba’I salah seorang terkemuka dalam golongan Mu’tazilah sehingga menurut al-Husain Ibn Muhammad al-Aksari, al-Jubbai berani mempercayakan perdebatan dengan lawan kepadanya. Tetapi oleh sebab-sebab yang tak begitu jelas, al-Asy’ari, sungguhpun sudah puluhan tahun menganut paham Mu’tazilah, akhirnya meninggalkan ajaran Mu’tazilah. Sebab yang biasa disebut, yang berasal dari al- Subki dan Ibn Asakir, ialah bahwa pada suatu malam al-Asy’ari bermimpi; dalam mimpi itu nabi Muhammad, mengatakan kepadanya bahwa ahli Hadislah yang benar, dan mazhab Mu’tazilah salah. Sebab lain bahwa al-Asy’ari berdebat dengan guurnya al-Jubbai dan dalam perdebatan itu guru itu tak dapat menjawab tantangan murid.
Salah satu perdebatan itu, menurut al-Subki, berlaku sebagai berikut:
Al-Asy’ari : Bagaimana kedudukan ketiga orang berikut: mukmin, kafir dan anak kecil?
Al-Jubbai : Yang mukmin mendapat tingkat yang baik dalam surga, yang kafir masuk neraka, dan yang kecil terlepas dari bahaya neraka.
Al-Asy’ari : Kalau yang kecil ingin memperoleh tempat yang lebih tinggi di surge, mungkinkash itu?
Al-Jubbai : Tidak, yang mungkin mendapat tempat yang baik itu, karena kepatuhannya kepada Tuhan. Yang kecil belum mempunyai kepatuhan yang serupa itu.
Al-Asy’ari : Kalau anak itu mengatakan kepada Tuhan: Itu bukanlah salahku. Jika sekiranya Engkau bolehkah aku terus hidup aku akan mengerjakan perbuatan-perbuatan baik seperti yang dilakukan orang mukmin itu.
Al-Jubbai : Allah akasn menjawab: “Aku tahu bahwa jika engkau terus hidup engkau akan berbuat dosa dan oleh karena itu akan kena hokum. Maka unutk kepentinganmu Aku cabut nyawamu sebelum engkau sampai kepada umur tanggungjawab.”
Al-Asy’ari : Sekiranya yang kafir mengatakan: “Engkau ketahui masa depanku sebagaimana Engkau ketahui masa depannya. Apa sebabnya Engakau tidak jaga kepentinganku?”
Di sini al-Jubbai terpaksa diam.
Terlepas dari soal sesuai atau tidak sesuainya uraian-uraian al-Subki di atas dengan fakta sejarah, jelas kelihatan bahwa al-Asy’ari sedang dalam keadaan ragu-ragu dan tidak merasa puas lagi dengan aliran Mu’tazilah yang dianutnya selama ini. Kesimpulan ini diperkuat oleh riwayat yang mengatakan bahwa al-Asy’ari mengasingkan diri di rumah selama lima belas hari untuk memikirkan ajaran-ajaran Mu’tazilah. Sesudah itu a keluar rumah, pergi ke mesjid, naik mimbar dan mengatakan:
“Hadirin sekalian, saya selama ini mengasingkan diri untuk berfikir tentang keterangan-keterangan dan dalil-dalil yang diberikan masing-masing golongan. Dalil-dalil yang dimajukan, dalam penelitian saya, sama kuatnya. Oleh karena itu saya meminta petunjuk dari Allah dan atas petunjuk-Nyas saya sekarang meninggalkan keyakinan-keyakinan lama dan menganut keyakinan-keyakinan baru yang saya tulis dalam buku-buku ini. Keyakinan-keyakinan lama saya lemparkan sebagaimana saya lemparkan baju ini.
Di sini timbul sial apa sebenarnya yang menimbukan perasaan syak dalam diri al-Asy’ari yang kemudian mendorongnya untuk meninggalkasn faham Mu’tazilah? Berbagai tafsiaran diberikan untuk menjelaskan hal ini. Menurut Ahmad Mahmud Subhi syak itu timbul karena al-Asy’ari menganut mazhab Syafi’i. al-Syafi’I mempunyai pendapat teologi yang berlainan dengan ajaran-ajaran Mu’tazilah, umpasmasnya Syafi’I berpendapat bahwa al-Quran tidak diciptakan, tetapi bersifat qadim dn bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat nanti.
Tetapi bagaimanapun al-Asy’arimeninggalkan faham Mu’tazilah ketika golongan ini sedang berada dalam fase kemunduran dan kelemahan. Setelah al-Mutawakil membatalkan putusan al-Ma’mun tentang penerimaan aliran Mu’tazilah mulai menurun, apalagi setelah al-Mutawakil menunjukan sikap penghargaan dan penghormatan terhadap diri Ibn Hanbal, lawan Mu’tazilah di waktu itu. Sekarang keadaan menjadi terbalik; Ibn Hanbal dan pengikut-pengikutnya, menjadi golongan yang dekat pada pemerintah, sedangkan kaum Mu’tazilah menjadi golongan yang jauh dari dinasti Bani Abbas. Umat Islam yang tak setuju dengan ajaran-ajaran Mu’tazilah selama ini mulai merasa bebas unutk menyerang mereka. Dalam suasana demikianlah al-Asy’ari keluar dari golongan Mu’tazilah dan menyusun teologi baru yasng sesuai dengan aliran orang yang berpegang kuat kepada Hadis.
Pokok Ajaran Asy’ariyah
Adapun formulasi pemikiran Al-Asy’ari, secara esensial, menampilkan sebuah upaya sintesis antara formulasi ortodoks ekstrim di satu sisi dan mu’tazilah di lain sisi. Maksudnya, dari segi etosnya, pergerakan tersebut memiliki semangat ortodoks. Sedangkan aktualitas formulasinya jelas menampakkan sifat reaktif terhadap Mu’tazilah, suatu reaksi yang tak dapat dihindarinya. Corak pemikiran yang sintesis ini, mungkin dipengaruhi pemikiran Ibnu Kullab (tokoh sunni yang wafat pada 854 M).
Tuhan dan Sifat-Sifat-Nya
Abul Hasan Al-Asy’ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrim. Di satu sisi ia berhadapan dengan kelompok mujassimah dan musyabbihah yang berpendapat bahwa Allah mempunyai semua sifat yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan Hadits, dan sifat-sifat itu harus dipahami menurut arti harfiahnya. Di lain sisi, beliau berhadapan dengan Mu’tazilah yang menolak konsep bahwa Allah mempunyai sifat, dan berpendapat bahwa mendengar, kuasa, mengetahui, dan sebagainya bukanlah sifat, tetapi Substansi-Nya, sehingga sifat-sifat yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan Hadits itu harus dijelaskan secara alegoris.
Menghadapi dua kelompok tersebut, Al-Asy’ari berpendapat bahwa Allah memang memiliki sifat-sifat itu (berbeda dengan Mu’tazilah) namun tidak boleh diartikan secara harfiah melainkan secara ta’wil (berbeda dengan mujassimah dan musyabbihah). Selanjutnya, Al-Asy’ari berpendapat bahwa sifat-sifat Allah itu unik, sehingga tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang tampaknya mirip. Ada 20 sifat yang wajib (mesti ada) pada Allah, dan ada 20 sifat yang mustahil(tidak mungkin ada) pada Allah.
Akal dan Wahyu
Walaupun Al-Asy’ari dan Mu’tazilah mengakui pentingnya akal dan wahyu, mereka berbeda dalam menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari aqal dan wahyu. Al-Asy’ari mengutamakan wahyu, sementara Mu’tazilah mengutamakan aqal. Dalam menentukan baik dan buruk pun terjadi perbedaan pendapat di antara mereka. Al-Asy’ari berpendapat bahwa baik dan buruk harus berdasarkan pada wahyu, sedangkan Mu’tazilah mendasarkannya pada aqal.
Keadilan Tuhan
Pada dasarnya Al-Asy’ari dan Mu’tazilah setuju bahwa Allah itu adil. Namun Al-Asy’ari tidak setuju bahwa Allah harus berbuat adil, sehingga Dia harus menyiksa orang yang salah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat baik. Menurutnya, Allah tidak memiliki keharusan apapun terhadap makhluq, karena Dia adalah Penguasa Muthlaq dan tak ada suatu pun yang wajib bagi-Nya. Tuhan berbuat sekehendaknya, sehingga kalau Ia memasukan seluruh manusia ke dalam surge bukanlah Ia bersifat tidak adil dan jika Ia memasukan seluruh manusia terhadap neraka tidaklah Ia bersifat dzalim.
Kedudukan Orang Berdosa
Al-Asy’ari menolak ajaran posisi menengah yang dianut Mu’tazilah. Iman merupakan lawan kufr, predikat bagi seseorang haruslah salah satu dari keduanya. Jika tidak mu`min, maka ia kafir. Mu`min yang berbuat dosa besar adalah mu`min yang fasiq, sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa, kecuali oleh kafir haqiqi.
Perbuatan-perbuatan Manusia
Bagi Al-Asy’ari, buknlah diwujudkan oleh manusia sendiri, sebagaimana pendapat Mu’tazilah, tetapi diciptakan Allah. Perbuatan kufr adalah buruk, tetapi oaramg kafir ingin supaya perbuatan kafr itu sebenarnya baik. Apa yang diinginkan orang kafir ini tidak dapat diwujudkannya. Perbuatan Iman bersift baik, tetapi berat dan sulit. Orang mukmin ingin supaya perbuatan iman itu janganlah berat dan sulit, tetapi apa yang dikehendakinya itu tidak dapat diwujudkannya. Dengan demikian yang mewujudkan perbuatan itu bukanlah orang kafir yang tak sanggup membuat kafir berbuat baik, tetapi Tuhanlah yang mewujudkannya dan Tuhan memang berkehendak supaya kafir bersifat buruk.
Tokoh-tokoh Aliran Asy’ariyah
Al-Baqilanny (wafat 403 H/ 1013 M)
Abu Bakar Muhammad bin Tayyib, lahir di kota Basrah, tempat kelahiran gurunya, al-Asy’ari. Ia cerdas otaknya, simpati dan banyak jasanya dalam pembelaan agama. Kitabnya yang terkenal adalah “At-Tahmid” (Pendahuluan/Persiapan). Dalam kitab tersebut ia membicarakan hal-hal yang perlu dipelajari sebelum memasuki ilmu kalam, antara lain pembicaraan tentang jauhar fard (atom). Juga menyinggung kepercayaan agama macam-macam, yang kesemuanya bersifat pengantar. Tetapi al-Baqilanny tidak begitu saja menerima ajaran-ajaran al-Asy’ari. Dalam beberapa hal ia tidak sefaham dengan al-Asy’ari. Apa yang disebut sifat Allah umpanya, bagi al-Baqilani bukanlah sifat, tetapi hal, sesuai dengan pendapat Abu Hasyim dari Mu’tazilah; sungguhpun ia pada mulanya mempunyai pendapat yang sebaliknya.
Al-Juwainy (419-478 H/1028-1085 M)
Abu al-Ma’aly bin Abdillah, dilahirkan di Nisabur.kemudian pergi ke kota Mu’askar, dan akhirnya sampai di kota Bagdad. Ia mengikuti jejak al-Baqilanny dan al-Asy’ari dalam menjungjung setinggi-tingginya kekuatan akal-fikiran, suatu hal yang menyebabkan kemarahan ahli-ahli hadis. Akhirnya ia sendiri terpaksa meninggalakan Bagdad menuju Hijaz dan bertempat tinggal di Mekah dan Madinah untuk memberikan pelajaran di sana. Karena itu ia mendapat gelar Imam al-Haramain (Imam kedua tanah suci, Mekah dan Madinah). Sama dengan al-Baqilani, al-Juwaini juga tidak selamanya setuju dengan ajaran-ajaran yang ditinggalkan al-Asy’ari. Mengenai antropomorphisme umpamanya ia bependapat bahwa tangan Tuhan harus diartikan kekuasaan Tuhan, mata Tuhan diartikan penglihatan Tuhan dan wajah Tuhan diartikan wujud Tuhan. Dan keadaan Tuhan duduk di atas tahta kerajaan diartikan Tuhan Berkuasa dan Mahatingi
Al-Ghazali (450-505 H)
Nama lengkapnya Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali. Dilahirkan di kota Tus, kota di negeri Khurasan, gurunya antara lainal-Juwainy. Jabatan yang pernah di pegangnya adalah mengajar di sekolah Nizamiyyah Bagdad. Al-Ghazali adalah ahli fikir Islam terkenal dan yang paling banyak pengaruhnya. Kegiatan ilmiahnya me;liputi berbagai lapangan, antara lain logika, jadal (ilmu debat), fiqh dan ushulnya, ilmu kalam, filsafat dan tasawuf. Kedudukan al-Ghazali dalam aliran Asy’ariyah sangat penting, karena ia telah meninjau semua persoalan yang telah dipegangi ulama-ulama Islam, yang karenanya ia mendapat gelar “Hujjatul Islam” (tokoh Islam). Berlainan dengan gurunya al-Juwaini dan dengan al-Baqilani, paham teologi yang dimajukan al-Ghazali boleh dikatakan tidak berbeda dengan faham-faham al-Asy’ari. Al-ghazli, seperti al-Asy’ari tetap mengakui bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat qadim yang tidak identik dengan zat Tuhan dan mempunyai wujud di luasr zat.
Assanusy (833-935 H/1427-1490 M)
Nama lengkapnya adalah Abu Abdillah Muhammad bin Yusuf. Dilahirkan di Tilimsan, sebuah kota alJazair. Ia belajar pada ayahnya sendiri dan orang-orang lain yang terkemuka di negerinya, kemudian ia melanjutkan pelajarannya di kota al-Jazair pada seorang alim yaituAbd. Rakhman At-tsa’aliby. Ulama Magrib menganggap dia sebagai pembangun Islam, karena jasa dan karyanya yang banyak dalamlapangan kepercayaan (aqa’id) dan Ketuhanan (ilmu tauhid).
KESIMPULAN
Al Asy’ari adalah nama sebuah kabilah Arab terkemuka di Bashrah, Irak. Dari kabilah ini muncul beberapa orang tokoh terkemuka yang turut mempengaruhi dan mewarnai sejarah peradaban umat Islam. Di antaranya adalah Abu Musa Asy’ari, salah seorang shahabat yang terkenal shaleh dan mendalam keilmuannya. Sedangkan tokoh lainnya adalah Abu al-Hasan Ali bin Ismail bin Ishak bin Salim bin Ismail bin Abdullah bin Musa bin Bilal bin Abi Bardah al Asy’ari, tokoh yang kemudian dinisbahkan sebagai ulama ‘pendiri’ paham Asy’ariyah. Abul Hasan Al-Asy’ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrim. Di satu sisi ia berhadapan dengan kelompok mujassimah dan musyabbihah yang berpendapat bahwa Allah mempunyai semua sifat yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan Hadits, dan sifat-sifat itu harus dipahami menurut arti harfiahnya. Di lain sisi, beliau berhadapan dengan Mu’tazilah yang menolak konsep bahwa Allah mempunyai sifat, dan berpendapat bahwa mendengar, kuasa, mengetahui, dan sebagainya bukanlah sifat, tetapi Substansi-Nya, sehingga sifat-sifat yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan Hadits itu harus dijelaskan secara alegoris.
Tokoh-tokoh Aliran Asy’ariyah: Al-Baqilanny (wafat 403 H/ 1013 M), Al-Juwainy (419-478 H/1028-1085 M), Al-Ghazali (450-505 H), Assanusy (833-935 H/1427-1490 M)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar