Minggu, 07 Maret 2010

Pendidikan Islam

I. PENDAHULUAN

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini yang ditandai oleh kemajuan industrialisasi dan teknologi informasi menyebabkan tingkat kebutuhan manusia terus mengalami perubahan dan perkembangan.
Untuk merespon tuntutan kebutuhan manusia tersebut, dibutuhkan pendidikan yang memiliki keunggulan dan daya saing yang dapat dijadikan sebagai alternatif dalam memenuhi kebutuhan manusia dan menjadikan masa depannya.
Materi kurikulum yang diajarkan hendaknya menempatkan pada konteks kebutuhan masyarakat yang lebih luas, terutama dalam soal relevansinya dengan kebutuhan masyarakat sebagai pengguna masyarakat



















II. PEMBAHASAN

1.Pengertian Lingkungan dan Lembaga Pendidikan

Salah satu system yang memungkinkan proses kependidikan Islam berlangsung dengan konsisten dan berkesinambungan dalam rangka mencapai tujuannya adalah institusi atau kelembagaan pendidikan Islam.
Lingkungan tarbiyah islamiyah itu adalah suatu lingkungan yang di dalamnya terdapat ciri-ciri keIslaman yang memungkinkan terselenggaranya pendidikan Islam yang baik..
Siapa yang harus bertanggung jawab terhadap pendidikan ini dapat berbentuk sebagai orang seorang, dan juga dapat berbentuk sebagai suatu badan. Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa yang dimaksud lembaga pendidikan ialah orang atau badan yang secara wajar mempunyai tanggungjawab terhadap pendidikan anak.

2.Macam-macam Lingkungan Pendidikan dan Peranannya Masing-masing

Tarbiayah Islamiyah mempunyai fungsi antara lain menunjang terjadinya kegiatan proses belajar mengajar secara aman, tertib, dan berkelanjutan. Untuk ini, al-Quran memberi isyarat tentang pentingnya menciptakan suasana saling menolong, saling menasihati dan seterusnya agar kegiatan yang dijalankan manusia dapat berjalan dengan baik.
Sebelum belajar di madrasah-madrasah tersebut, kaum muslim belajar di kutab dimana diajarkan cara membaca dan menulis huruf al-Quran dan kemudian diajarkan ilmu agama dan ilmu al-Quran.
Pada perkembangan selanjutnya intitusi lembaga pendidikan ini disederhanakan menjadi lingkungan sekolah dan lingkungan luar sekolah. Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, mengatakan sebagai berikut;
1. Satuan pendidikan melaksanakan kegiatan belajar mengajar yang dilaksanakan di sekolah atau luar sekolah.
2. Satuan pendidikan yang disebut sekolah merupakan bagian dari pendidikan yang berjenjang dan yang berkesinambungan.
3. Saluran pendidikan luar sekolah meliputi keluarga , kelompok belajar, kursus dan satuan pendidikan yang sejenis.
Pada garis besarnya kita kenal tiga lingkungan pendidikan. Tiga lingkungan pendidikan ini disebut juga dengan tripusat pendidikan yaitu:
1. Lingkungan keluarga (Satuan Pendidikan Luar Sekolah)
Secara literal keluarga merupakan unit social terkecil yang terdiri dari orang yang berada dalam seisi rumah yang sekurang-kurangnya terdiri dari suami istri.
Lingkungan keluarga adalah merupakan lingkungan pendidikan yang pertama, karena dalam keluarga inilah anak pertama-tama mendapatkan didikan dan bimbingan. Dan dikatakan lingkungan yang pertama karena, sebagian besar dari kehidupan anak adalah di dalam keluarga. Sehingga pendidikan yang paling banyak diterima oleh anak adalah keluarga.
Keluarga atau rumah tangga atau orang tua, sebagaimana wujud kehidupan social yang asasi, sebagai unit kehidupan bersama manusia yag terkecil. Keluarga, adalah lembaga kehidupan yang asasi dan alamiah, yang pasti secara alamiah dialami oleh kehidupan seorang manusia.
Tugas utama dari keluarga bagi pendidikan anak ialah, merupakan peletak dasar bagi pendidikan akhlak dan pandangan hidup keagamaan. Sifat dan tabiat anak sebagian besar diambil dari kedua orang tuanya dan dari anggota keluarga yang lain.
Kehidupan dalam keluarga hendaknya memberikan kondisi kepada anak untuk mengalami suasana hidup keagamaan. Mengenai hubungan pendidikan dalam keluarga adalah didasarkan atas adanya hubungan kodrati antara orang tua dan anak. Pendidikan dalam keluarga dilaksanakan atas dasar rasa kasih sayang yang kodrtati, rasa kasimg sayang yang murni, rasa cinta kasih sayang orang tua terhadap anaknya. Rasa cinta kasih sayang inilah yang menjadi sumber kekuatan yang tak kunjung padam pada orang tua untuk tak jemu-jemunya memberikan bimbingan dan pertolongan yang dibutuhkan oleh anak. Rasa cinta kasih sayang ini pula yang menyebabkan orang tua ikhlas mengorbankan segala sesuatunya demi kepentingan anaknya. Namun dalam orang tua memberikan bimbingan dan pertolongan ini, hendaklah benar-bemar merupakan bimbingan dan pertolongan yang memang peril dan berguna bagi perkembangan anak kearah kedewasaan, kearah sikap berdiri sendiri.
2. Lingkungan sekolah
Ketika anak berumur 4-6 tahun, ia dipercayakan oleh keluarganya untuk di didik oleh lembaga pendidikan ( sekolah) seperti taman kanak-kanak sampai sekolah dasar.
Tidak semua tugas mendidik dapat dilaksanakan oleh orang tua dalam keluarga terutama dalam hal ilmu pengetahuan dan berbagai keterampilan. Oleh karena itu dikirimkan anak kesekolah.
Disekolah anak bercampur dan bergaul dengan anak-anak lain, yang tidak ada hubungan kodrati. Bercampus dan bergaul dengan anak-anak lain, yang bermacam-macam tempat dan perangainya, yang mempunyai hak-hak yang sama dengan dirinya. Semua anak mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Semua anak diperlakukan sama. Disinilah anak diperkenalkan dengan prinsip-prinsip kehidupan demokratis. Anak-anak dilatih untuk belajar hidup secara demokratis.
3. Lingkungan masyarakat
Manusia adalah makhluk yang diciptakan Allah yang keberadaan hidupnya tidak dapat menyendiri. Manusia membutuhkan masyarakat di dalam pertumbuhan dan perkembangan kemajuan yang dapat meninggikan kualitas hidupnya.
Dalam kamus Umum bahasa Indonesia, masyarakat adalah pergaulan hidup manusia atau sekumpulan orang yang hidup bersama di suatu tempat dengan ikatan-ikatan aturan tertentu misalnya memperbaiki keadaan masyarakat.
Masyarakat dapat diartikan sebagai satu bentuk tata kehidupan social dengan tata nilai dan tata budaya sendiri. Masyarakat dalam arti organisasi kehidupan bersama yang secara makro ialah tata pemerintahan. Amasyarakat dalam makna ini ialah lembaga atau perwujudan subyek pengelola dan kepemimpinan bersama (berdasarkan asas demokrasi).
Sebenarnya pengertian tentang lingkungan masyarakat ini memang agak membingungkan. Tidak hanya pengertian tentang lingkungan masyarakat saja yangh membingungkan, tetapi juga pengertian tentang lingkungan keluarga dan lingkungan sekolah tidak tegas pula.

4. Beberapa model Lembaga Pendidikan Islam Dan Fungsinya Masing-masing
Dibawah ini merupakan lembaga-lembaga pendidikan:
1. Orang tua sebagai lembaga pendidikan.
Orang tua adalah merupakan orang pertama dan terutama yang wajib bertanggung jawab atas pendidikan anaknya. Pertanggung jawaban orang tua atas pendidikan anaknya dapat dijelaskan melalui dua macam alasan, yaitu:
a. Jika dipikirkan dengan benar-benar, maka adanya anak tersebut, kelahiran anak itu di dunia ini, tidak lain adalah merupakan akibat langsung dari perbuatan antara kedua orang tua.
b. Alasan yang kedua menyebabkan orang tua harus bertanggung jawab terhadap pendidikan anak ialah sifat tak berdaya dan sifat menggantungkan diri dari si anak.
2. Yayasan sebagai lembaga pendidikan.
Tidak semua anak bisa menggantungkan diri kepada orang tuanya. Mengapa anak memperoleh tempat menggantungkan diri yang tidak wajar ini, hal ini disebabkan oleh bermacam-macam alas an. Alasan bisa terdapat pada orang tua dan dapat juga alasan itu terletak pada diri anak. Alasan pada orang tua terletak pada misalnya, akibat dari perceraian, orang tua meninggal, orang tua tidak mampu dan sebagainya. Alasan terletak pada anak misalnya anak cacat atau cedera.
Selanjutnya dimanakah anak-anak itu mendapatkan tempat bergantung itu?
a. Yang pertama ialah anak diserahkan kepada salah seorang familiatau dapat juga orang lain yang bukan familinya.
b. Yang kedua ialah menyerahkan anak kepada yayasan-yayasan.
Sebagaimana halnya yayasan adalah merupakan tempat bergantung yang bersifat kebetulan makasudah selayaknya yayasan itu terdapat kekurangan-kekurangan dalam menyelenggarakan pendidikan dibanding dengan yang diselenggarakan oleh orang tua.
3. Lembaga keagamaan sebagai lembaga pendidikan.
Berbeda dengan kedudukan yayasan yang hanya lembaga pengganti orang tua, maka lembaga keagamaan mempunyai kedudukan tersendiri. Keddudukan lembaga keagamaan sebagai lembaga pendidikan ynag bukan hanya sekedar mengambilalih dari kedudukan orang tua, bahwa lembaga-lembaga keagamaan mempunyai tugas dalam penyelenggaran pendidikan agama bagi para penganut-penganutnya yang harus mendidik umat manusia agar menjadi manuia-manusia yang taat pada agama. Dapat digolongkan sebagai lembaga-lembaga keagamaan ialah: pondok-pondok, pesantren, mesjid. Yang dimaksud disini bukanlah pusat-pusat peribadatan melainkan sebagai pusat syiar agama yang dilihat dari fungsinya.
a. Pesantren
Ialah lembaga pendidikan isalam tradisional tertua di Indonesia. Menurut para ahli, lembaga pendidikan ini sudah ada sebelum islam datang ke Indonesia. Pada awal perkembangannya ada dua fungsi pesantren. Pertama seagai lembaga pendidikan dan kedua sebagai lembaga penyiaran agama. Inti pendidikan yang ditanamkan dipondok pesantren adalah pendidikan watak dan pendidikan keagamaan.
b. Madrasah
Pada permulaan abad keduapuluh muncul lembaga pendidikan islam baru yang disebut madrasah. Perkataan Madrasah berasal dari bahasa Arab “darasa”, yang artinya belajar. Dengan demikian madrasah berarti tempat belajar. Dalam kenyataannya kemudian, madrasah sebagi lembaga pendidikan islam berfungsi menghubungkan system lama dengan system baru dengan jalan mempertahankan nilai-nilai lama yang baik yang masih dapat dipertahankan dan mengambil sesuatu yang baru dalam ilmu, ekonomi, teknologi yang bermanfaat bagi kehidupan manusia.
c. Sekolah Islam
Lembaga pendidikan islam ketiga adalah sekolah islam. Lembaga ini merupakan pengembangan madrasah dengan falsafah pendidikan islam, yang dipengaruhi oleh ajaran barat. Kurikulumnya lebih dekat pada kurikulum sekolah-sekolah umum. Kendatipun predikatnya Islam, namun pelajaran Islam kurang mendapat tempat dalam kurikulumnya. Yang diutamakan adalah persamaan tempat dalam kurikulumnya.
4. Negara sebagai lembaga pendidikan.
Negara adalah suatu lembaga persekutuan hidup yang tinggi. Sebagai suatu lembaga, maka Negara mempunyai kewajiban untuk menjaga kelangsungan dari persekutuan hidup, ia menginginkan untuk memiliki warganegara yang baik dan berguna, sudah sewajarnya apabila Negara itu berkewajiban untuk memberikan pendidikan bagi calon-calon warganegaranya.
Prinsip Strategi Pengelolaan Lembaga Pendidikan Islam
Beberapa hal penting yang terkait dengan strategi pengelolaan Lembaga Pendidikan Islam:
1. Taat Azas, yakni prinsip komitmen terhadap Islam, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan komitmen terhadap prinsip organisasi pengelola (yayasan)
2. Komitmen terhadap tujuan dan sasaran lembaga Pendidikan Islam, yakni apa tujuan dan sasarannya.
3. Komitmen terhadap Sistem Pendidikan Nasional, yakni Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia memposisikan dirinya sebagai sub-sistem dalam Sistem Pendidikan Nasional. Berkaitan dengan itu, Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia bersikap responsif dan melakukan adaptasi terhadap langkah kebijakan dalam rangka Pendidikan Nasional seperti pelaksanaan Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-undang No. 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen serta Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang meliputi standar isi, standar proses, standar pengelolaan, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pembiayaan dan standar penilaian pendidikan.
4. Komitmen terhadap aplikasi manajemen pendidikan yang meliputi:
Aplikasi fungsi-fungsi manajerial pada Lembaga Pendidikan Islam yang terdiri atas fungsi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan dan fungsi penilaian.
Upaya penyediaan alat dan sarana manajemen Pendidikan Islam, yang meliputi sumber daya manusia, keuangan, perlengkapan, mesin, sistem (metode) kerja, suatu peluang pemasaran output Lembaga Pendidikan Islam.
5. Karakteristik Lingkungan Pendidikan Yang Baik Menurut Islam

Masjid sebagai lembaga pendidikan menerima anak-anak setelah mereka dibesarkan di dalam asuhan kedua orang tuanya. Keluarga muslim adalah pelindung pertama tempat anak dibesarkan dalam suasana pendidikan Islam. Adapun tujuan pembinaan keluarga sebagai berikut:

1. Menegakkan hukum-hukum Allah swt di sini berarti merealisasikan agama dan keridhaan Allah swt dalam kaitannya dengan segala urusan dan hubungan suami istri. Ini berarti menegakkan keluarga muslim yang kehidupannya didasarkan atas perealisasian ibadah kepada Allah swt sebagai suatu upaya tujuan akhir pendidikan Islam.
2. Merealisasikan ketentraman jiwa.
Jika suami istri bersatu atas dasar saling kasih saying dan ketentraman jiwa, anak-anak akan terdidik dalam suasana bahagia yang diliputi rasa percaya diri, tentram, penuh kelembutan dan kasih sayang. Mereka akan terhindar dari kegelisahan, keterkengkangan dan penyakit psikis yang melemahkan kepribadiannya.
3. Melaksanakan perintah Rasulullah
Yakni melahirkan keturunan yang mukmin dan shaleh. Di atas pundak kedua orang tua terletak tanggung jawab mendidik dan melindungi anak-anak dari kerugian kejahatan api neraka. Tanggung jawab ini dirasakan semakin penting pada masa sekarang sebab sebagian anasir kehidupan sosial di luar keluarga dan masjid tidak selalu menunjang tercapainya pendidikan Islam.
4. Merealisasikan kecintaan kepada anak-anak dan beberapa dampak edukatifnya. Kasih sayang kepada anak salah satu naluri yang difitrahkan Allah swt kepada manusia dan hewan, serta merupakan asas biologis, psikologis, sosial serta alami bagi kebanyakan makhluk hidup.


III. KESIMPULAN

1) Lembaga pendidikan, sebenarnya adalah merupakan pembicaraan yang bersangkutan dengan pertanggung jawaban terhadap pendidikan anak.
2) Pada garis besarnya kita kenal tiga lingkungan pendidikan. Tiga lingkungan pendidikan ini disebut juga dengan tripusat pendidikan yaitu: lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat.
3) Di dalam lembaga pendidikan Islam juga terdapat lembaga-lembaga keagamaan seperti:: pondok-pondok, pesantren, mesjid. Yang dimaksud disini bukanlah pusat-pusat peribadatan melainkan sebagai pusat syiar agama yang dilihat dari fungsinya.
4) Lembaga pendidikan Islam juga memiliki karakteristik lingkungan yang bertujuan untuk menegakkan hukum-hukum Allah;merealisasikan ketentraman jiwa; melaksanakan perintah Rasulullah; serta merealisasikan kecintaan kepada anak-anak dan beberapa dampak edukatifnya.















IV. DAFTAR PUSTAKA

Ali, H. M. Daud, Lembaga-lembaga Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995.
Arief, Armai, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga Pendidikan Islam Klasik, Bandung: Angkasa, 2005.
Arifin, H. M, Ilmu Pendidikan Islam: Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Inderdisipliner, Jakarta: Bumi Aksara, 1999.
Arifin, H. M., Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1991.
Indrakusuma, Amir Daien , Pengantar Ilmu Pendidikan, Surabaya: Usaha Nasional, 1973.
Nata, H. Abuddin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005.
Poerwadarminta, W. J. S, Kamus Umum Bahaasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1991.
Syam, M. Noor, dkk, Pengantar Dasar-dasar Kependidikan, Surabaya: Usaha Nasional, 1991.
. www.google.com

Hadhanah (pemeliharaan anak)

Perseteruan Zarima-Ferry Tentang Kepengasuhan Anak
PENDAPAT PENULIS
Perseteruan antara Zarima dengan Fery Juan dalam kepengurusan anak harus segera diselsaikan. Jika tidak segera diselsaikan akan berdampak buruk kepada perkembangan psikologis si anak. Apalagi umur si anak yang masih sangat kecil. Dia masih memerlukan perhatian dan kasih sayang dari orang tuanya.
Bila dilihat dari kasus antara Zarima dengan Fery, hak kepengasuhan anak harusnya jatuh ke tangan Zarimah. Hal ini disebabkan beberapa faktor; faktor yang pertama si anak umurnya masih kecil (balita). Dimana dia masih sangat memerlukan kasih sayang orang tuanya. Terutama disini adalah ibunya. Kenapa si ibu lebih berhak untuk mengasuh anak? Karena sang ibu biasanya lebih dekat dan lebih sayang terhadap anaknya. Tidak ada yang bisa menyamai kedekatannya dengan sang anak meskipun ibunya sendiri.
Faktor yang kedua, karena status hubungan antara Zarima dengan Ferry Juan tidak jelas ( katanya sih nikah sirri). Status yang tidak inilah yang membuat keadaan jadi runyam. Status yang tidak jelas ini pula yang membuat si anak jadi runyam dalam hal kepengasuahannya. Karena bukti otentik yang menjelaskan si anak ini siapa tidak ada. Misalnya akte kelahiran.
Faktor ketiga, masalah agama. Ferry Juan suami Zarima ini ternyata non muslim. hal ini lebih menegaskan lagi bahwa kepengasuhan anak harusnya jatuh ketangan Zarima. Karena bila si anak diasuh oleh Ferry Juan dikhawatirkan anak tersebut nantinya akan mengikuti agama ayahnya. Takutnya ada pemurtadan.
Dai uraian diatas dapat disimpulkan bahwa : apabila terjadi penceraian antara suami dan istri. Maka hak kepengasuhan anak jatuhnya pada sang ibu karena sang ibulah yang biasanya lebih sayang kepada anaknya. Tapi apabila si wanita itu menikah lagi maka hak kepengasuhan anaknya jadi gugur.



PENDAPAT ULAMA
PEMELIHARAAN ANAK (HADHANAH)
A. Pengertian dan Dasar Hukum
Hadonah berasal dari kata Hidban, yang berarti lambung. Seperti kalimat
hadbana ath-thaairu baidhabu, “burung itu mengepit telur dibawah sayapnya,” begitu juga dengan perempuan (Ibu) yang mengasuh anaknya.
Hadhanah menurut bahasa berarti “meletakkan sesuatu dekat tulang rusuk atau di pangkuan”, karena ibu waktu menyusukan anaknya meletakkan anak itu dipangkuannya, seakan-akan ibu di saat itu melindungi dan memelihara anaknya, sehingga ‘hadhanah’ dijadikan istilah yang maksudnya :”pendidikan dan pemeliharaan anak sejak dari lahir sampai sanggup berdiri sendiri mengurus dirimya yang dilakukan oleh kerabat anak itu.
Para ulama fiqih mendefinisikan hadhanah yaitu melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki maupun perempuan, atau yang sudah besar tetapi belum mumayyiz, menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya, agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan menutur tanggung jawab.
Hadhanah berbeda maksudnya dengan pendidikan (tarbiyah). Dalam hadhanah terkandung pengertian pemeliharaan jasmani dan rohani terkandung pula pengertian pendidikan terhadap anak. Pendidik mungkin terdiri dari keluarga sianak, dan mungkin bukan dari keluarga si anak, dan ia merupakan pekerjaan social, sedangkan hadhanag dilaksanakan dan dilakukan oleh keluarga si anak, kecuali jika anak tidak mempunyai keluarga serta ia bukan professional; dilakukan oleh setiap ibu, serta anggota kerabat yang lain. Hadhanah merupakan hak dari hadhin, sedangkan pendidikan belum tentu merupakan hak dari pendidik.
Dasar hukum hadhanah (pemeliharaan anak) adalah firman Allah:
        ••              
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”

B. Yang Berhak Melakukan Hadhanah
Seorang anak pada permulaan hidupnya samapai pada umur tertentu memerlukan orang lain untuk membantunya dalam kehidupannya, seperti makan, pakaian, membersihkan diri, bahkan sampai kepada pengeturan bangun dan tidur. Karena itu orang yang menjaganya perlu mempunyai rasa kasih saying, kesabaran dan mempunyai keinginan agar anak itu menjadi shaleh dikemudian hari. Oleh karena itu, orang yang berhak melakukan hadhanah yaitu:
1. Anak ibu tersebut
Menurut Imam Malik dalam Kitab Muwattha dari Yahya bin Said,
berkata Qosim bin Muhammad bahwa Umar bin Khattab mempunyai seorang anak, namanya Ashim bin Umar, kemudian ia bercerai. Pada suatu waktu, Umar pergi ke Quba dan menemui anaknya itu sedang bermain-main didalam masjid. Umar mengambil anaknya itu dan meletakkan diatas kudanya. Pada waktu itu, datanglah nenek si anak, Umar berkata,” Anakku”. Wanita itu berkata pula,”Anakku”. Maka dibawalah perkara itu kepada Khalifah Abu Bakar. Abu Bakar memberi keputusan bahwa anak umar itu ikut ibunya, dengan dasar yang dikemukakannya, yaitu sabda rasulullah SAW:






Rasulullah SAW bersabda: Barang siapa yang memisahkan antara seorang ibu dengan anaknya niscaya Allah akan memisahkan antara orang itu dengan kekasihnya di Hari Kiamat.
Karena itu, hendaklah hakim, wali, bekas suami atau orang lain berhati-hati dalam memberi keputusan atau berusaha memisahkan seorang ibu dengan anaknya mengingat ancaman Rasulullah dalam hadits di atas.
2. Nenek.dari pihak ibu
3. Nenek dari pihak ayah
4. Saudara sekandung perempuan anak tersebut
5. Saudara perempuan ibu
6. Saudara perempuan ayah
7. Anak perempuan dari saudara perempuan sekandung
8. Anak perempuan dari saudara perempuan seayah
9. Saudara perempuan ibu yang sekandung dengan-nya
10. Saudara perempuan ibu yang seibu dengan-nya (bibi)
11. Saudara perempuan ibu yang seayah dengan-nya.

C. Syarat-Syarat Hadhinah dan Hadhin
Untuk kepentingan anak dan pemeliharaannya, diperlukan syarat-syarat bagi hadhinah dan hadhin. Syarat-syarat itu ialah:
1. Tidak terikat dengan suatu pekerjaan yang menyebabkan ia tidak melakukan Hadhanah dengan baik, seperti hadhinah terikat dengan pekerjaan yang berjauhan tempatnya dengan tempat si anak, atau hamper seluruh waktunya dihabiskan untuk bekerja.
2. Hendaklah ia orang yang mukallap, yaitu telah baligh, berakal, dan tidak terganggu ingatannya. Hadhanah adalah suatu pekerjaan yang penuh dengan tanggung jawab, sedangkan orang yang bukan mukallap adalah orang yang tidak dapat mempertanggung jawabkan perbuatan.
3. Hendaklah mempunyai kemampuan melakukan hadhanah.
4. Hendaklah dapat menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak, terutama yang berhubungan dengan budi pekerti.
5. Hendaklah Hadhinah tidak bersuamikan laki-laki yang tidak ada hubungan mahram dengan si anak. Jika ia kawin dengan laki-laki yang ada hubungan mahram dengan si anak, maka hadhinah itu berhak melaksanakan hadhanah, seperti ia kawin dengan paman si anak.
6. Hadhinah hendaklah orang yang tidak membenci si anak. Jika hadhinah orang yang memenci si anak, dikhawatirkan anak berada dalam kesengsaraan.
D. Masa Hadhanah
Tidak terdapat ayat-ayat Al Quran dan Hadits yang menerangkan bahwa dengan tegas tentang masalah hadhanah, hanya terdapat isyarat-isayarat yang menerangkan ayat-ayat tersebut. Karena itu para ulama berijtihad sendiri-sendiri dalam menetapkan dengan berpedoman kepada isyarat-isyarat itu.
Seperti menurut mazhab Hanafi: Hadhanah anak laki-laki berakhir pada saat anak itu tidak lagi memerlukan penjagaan dan telah dapat mengurus keperluannya sehari-hari, seperti makan dan minum dan sebaginya. Sedangkan masa hadhanah wanita berakhir apabila ia telah baligh atau telah dating masa haid pertamanya. Pengikut mazhab Hanafi yang teakhir ada yang menetapkan bahwa masa hadhanah itu berakhir umur 19 tahun bagi laki-laki dan umur 11 tahun bagi wanita.
Mazhab Syafi’I berpendapat bahwa masa hadhanah itu berakhir setelah anak mumayyiz, yakni berumur antara 5-6 tahun.
E. Upah Hadhanah
Ibu tidak berhak atas upah hadhanah, seperti upah menyusui, selama ia masih menjadi istri dari ayah anak kecilitu, atau selama masih dalam iddah. Karena dalam keadaan tersebut ia masih mempunyai nafkh sebagai istri atau nafkah masa iddah.
Allah berfirman :
          •                                                   •    •   •     
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi makan dan Pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan Karena anaknya dan seorang ayah Karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan Ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.”
Seorang ayah wajib membayar upah penyusuan dan hadhanah, juga wajib membayar ongkos sewa rumah atau perlengkapannya jika sekiranya si ibu tidak memiliki rumah sendiri sebagai tenpat mengasuh anak kecilnya. Dia juga wajib membayar gaji pembantu rumah tangga jika si ibu membutuhkannya, dan ayah memiliki kemampuan untuk itu. Tetapi kalau ayahnya tidak mampu, ia boleh menyerahkan anak itu kepada kerabatnya yang perempuan untuk mengasuhnya dengan sukarela, dengan syarat perempuan ini dari kalangan kerabat si anak kecil dan pandai mengasuhnya. Hal ini berlaku apabila nafkah itu wajib ditanggung oleh ayah. Apabila anak kecil, itu sendiri memiliki harta untuk membayar nafkahnya, maka anak kecil inilah yang membayar kepadan pengasuh suka relanya. Disamping untuk menjaga hartanya, juga karena ada salah seorang kerabatnya yang men jaga dan mengasuhnya. Tetapi jika ayahnya tidak mampu, sianak kecil sendiri juga tidak memiliki harta, sedangkan ibunya tidak mau mengasuhnya kecuali kalau dibayar, dan tidak seorang kerabatpun yang mau mengasuhnya dengan suka rela, maka ibu dapat diapaksa untuk mengasuhnya, sedangkan upah (bayarannya) menjadi hutang yang wajib dibayar oleh ayah, dan bisa gugur setelah dibayar atau dibebaskan.





















DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Selamet dan Aminudin, Fiqih Munakahat, Bandung: CV Pustaka Setia, 1999.
Derajat, Zakia, Ilmu Fiqih, Jogjakarta: Dana Bakti Wakap, 1995.
Ghazali, Abdurahman, Fiqih Munakahat, Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2006.
Sabiq, Sayyid, Fiqih Sunnah, Jakarta : Pena Pundi Aksara. 2006.
‘Uwaidah, Syaikh Kamil Muhammad, Fiqih Wanita, Jakarta: Pustaka Alkautsar, 1998.

Fiqh Munakahat

’’BATALNYA PERKAWINAN’’

I.PENDAHULUAN
Dalam perkawinan terdapat sebuah pengertian fasakh atau batalnya perkawinan. Fasakh atau batalnya perkawinan ini bisa terjadi karena tidak terpenuhinya syarat- syarat ketika berlangsung akad nikah atau karena hal- hal lain yang datang kemudian dan membatalkan kelangsungannya perkawinan.

II.PEMBAHASAN
Pengertian Fasakh (Batalnya Perkawinan)
Fasakh artinya putus atau batal.Batal yaitu rusaknya hukum yang ditetapkan terhadap suatu amalan seseorang, karena tidak memenuhi syarat dan rukunnya sebagaimana yang telah ditetapkan oleh syara. Selain tidak memenuhi syarat dan rukun juga perbuatan itu dilarang dan diharamkan oleh agama. Jadi, secara umum batalnya perkawinan yaitu rusak atau tidak sahnya perkawinan karena tidak memenuhi salah satu syarat atau salah satu rukunnya, atau sebab lain yang dilarang atau diharamkan oleh agama. Contoh perkawinan yang batal atau tidak sah, yaitu perkawinan yang dilangsungkan tanpa calon mempelai laki- laki atau calon mempelai perempuan. Perkawinan semacam ini batal atau tidak sah karena tidak terpenuhi salah satu rukunnya, yaitu tanpa calon mempelai laki- laki atau perempuan. Contoh lain yang saksinya orang gila, atau perkawinan yang walinya bukan muslim atau masih anak- anak, atau perkawinan yang calon mempelai perempuan benar- benar saudara kandung laki- laki. Yang dimaksud memfasakh akad nikah adalah memutuskan atau membatalkan ikatan hubungan antara suami dan istri.
Fasakh karena syarat- syarat yang tidak terpenuhi ketika akad nikah, antara lain:
a. setelah akad nikah, ternyata diketahui bahwa istri merupakan saudara sepupu atau saudara sesusuan pihak suami;
b. suami istri masih kecil, dan diadakannya akad nikah oleh selain ayah atau datuknya. Kemudian setelah ia dewasa ia berhak meneruskan ikatan perkawinannya dahulu atau mengakhirinya. Khiyar ini dinamakan khiyar balig. Jika yang dipilih mengakhiri ikatan suami istri, maka yang ini disebut fasakh balig.
Fasakh karena hal- hal yang datang setelah akad, antara lain;
a. bila salah seorang dari suami istri murtad atau keluar dari islam dan tidak mau kembali sama sekali, maka akadnya batal (fasakh) karena kemurtadan yang terjadi belakangan;
b. jika suami yang tadinya kafir masuk Islam, tetapi istri masih tetap dalam kekafirannya yaitu tetap menjadi musyrik, maka akadnya batal (fasakh). Lain halnya kalau istri orang ahli kitab, maka akadnya tetap sah seperti semula. Sebab perkawinannya dengan ahli kitab dari semulanya dipansdang sah.

Bentuk pernikahan yang dibatalkan dalam Islam adalah sebagai berikut:
A. Pergundikan
Selama ini, pergundikan yang dilakukan decara tersembunyi dianggap oleh kalangan masyarakat sebagai tidak apa- apa, tetapi kalau dilakukan secara terang- terangan dianggap tercela.
Pernikahan semacam ini disebutkan dalam firman Allah,
’’...dan tidak (pula) menjadikan gundik- gundik...’’(Al- Maidah (5):5)
B. Tukar- Menukar Isteri
Seorang laki- laki mengatakan kepada temannya,’’Ambillah istriku dan kuambil istrimu dengan tambahan sekian’’.
Daraquthni meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah dengan sanad yang sangat lemah yang menerangkan bahwa Aisyah r.a. pernah menyebutkan bentuk pernikahan lain selain dari dua pernikahan di atas. Ia mengatakan bahwa bentuk pernikahan di zaman Jahiliah itu ada 4 macam, yaitu sebagai berikut:
1. Pernikahan pinang.
2. Perikahan pinjam(gadai).
3. Sejumlah laki- laki (di bawah sepuluh orang) secara bersama- sama menyetubuhi seorang perempuan.
4. Perempuan- perempuan yang tidak menolak untuk digauli oleh banyak laki- laki.
Sesudah Muhammad saw.menjadi rasul, semua bentuk pernikahan tersebut dihapuskan, kecuali bentuk pernikahan yang pertama (meminang) saja.
Pernikahan yang masih tetap dilaksanakan oleh Islam ini hanya sah jika rukun- rukunnya, seperti ijab qabul dan kehadiran para saksi dipenuhi. Apabila rukun- rukunnya telah terpenuhi maka akad yang menghalalkan suami istri hidup bersenang- senang sebagaimana ditentukan Islam menjadi sah. Selanjutnya, masing- masing istri mempunyai tanggung jawab dan hak- hak yang lazim.

Hal- hal yang membatalkan pernikahan:
a. jika si istri gila, menderita penyakit kusta atau sopak (belang);
b. karena ada penyakit menular padanya, seperti sipilis, TBC dan lain- lain;
c. karena ada daging tumbuh pada kemaluan perempuan yang menghambat masuk perkawinan (bersetubuh);
Dijelaskan dalam suatu riwayat:


Artinya:
Dari Ali r.a. berkata, ’’Barangsiapa laki- laki yang mengawini perempuan lalu dukhul dengan perempuan itu, maka diketahuinya perempuan itu terkena balak, gila atau, berpenyakit kusta, maka hak baginya mas kawinnya dengan sebab menyentuh (menyampuri) perempuan itu, maka mas kawin itu hak bagi suami ( supaya dikembalikan) dan utang di atas orang yang telah menipunya dari perempuan itu. Dan kalau didapatinya ada daging tumbuh ( difarajnya, hingga menghalangi jima’) suami itu boleh khiyar. Apabila ia telah menyentuhnya, maka hak baginya mas kawin sebab barang yang telah dilakukannya dengan farajnya.



d. karena unah, yaitu impoten (tidak hidup untuk jima’), sehingga tidak mencapai apa yang dimaksudkan dengan nikah;
e. jika si suami murtad sedangkan istrinya masih tetap muslimah;
f. jika si istri murtad, sedangkan suaminya masih tetap sebagai seorang muslim;
g. jika si istri disetubuhi oleh ayah atau kakeknya karena faktor ketidaksengajaan maupun dengan maksud menzinahinya;
h. jika kedua pihak saling berli’an;
i. jika keduanya sama- sama murtad;
j. jika salah satunya meninggal dunia. Dimana dalam hal ini tdak ada perbedaan pendapat.
Undang- undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 22 menegaskan: ‘’Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat- syarat untuk melangsungkan perkawinan”.
Dalam mengemukakan jenis perkawinan yang dapat dibatalkan, kompilasi lebih sistematis daripada Undang- undang Perkawinan. Pasal 70 dan 71 mengatur masalah ini, sementara dalam undang- undang perkawinan, diatur dalam pasal 22, 24, 26. Pasal 23 mengatur tentang pihak yang dapat mengajukan pembatalan, dan pasal 25 tentang tempat dimana pembatalan tersebut diajukan.
Macam- macam perkawinan yang dapat dibatalkan, dapat dikemukakan sebagai berikut:
Pasal 24:
Barangsiapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak, dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 Undang- undang ini.
Pasal 26:
(1) Perkawinan yang dilangsungkan di muka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah, atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh dua orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami isteri, jaksa dan suami atau isteri.
(2) Hak untuk membatalkan oleh suami atau isteri berdasarkan alasan dalam ayat 1 pasal ini gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami isteri yang dapat memperlihatkan akte perkawinan yang dibuat pegawai pencatat yang tidak berwenang dan perkawinan harus diperbaharui supaya sah.
Dalam sistematika yang berbeda, kompilasi mengaturnya sebagai berikut:
Pasal 70: Perkawinan batal apabila:
a. Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang isteri, sekalipun salah satu dari keempat isterinya itu dalam iddah talak raj’i.
b. Seseorang menikahi bekas isterinya yang telah dili’annya.
c. Seseorang menikahi bekas isterinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bila bekas isteri tersebut pernah menikahi dengan pria lain yang kemudian bercerai lagi ba’da dukhul dari pria tersebut dan telah habis masa iddahnya.
d. Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah, semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut pasal 8 Undang- undang Nomor 1 Thun 1974.
e. Isteri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri atau isteri- isterinya.
Pasal 71: Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila:
a. Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama.
b. Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi isteri pria lain yang mafqud (hilang tidak diketahui beritanya).
c. Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dari suami lain.
d. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 Undang- undang Nomor 1 Tahun 1974.
e. Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak.
f. Perkawinan yang dilaksanakan degan paksaan.
Adapun pasal 27 Undang- undang Perkawinan, sebagaimana pasal 72 Kompilasi mengatur hak- hak suami atau istri untuk mengajukan pembatalan manakala perkawinan dilangsungkan dalam keadaan diancam, ditipu atau salah sangka.
Pasal 27 UU Perkawinan:
(1) Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum.
(2) Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau istri.
Lihat pasal 72 Kompilasi ayat (1) dan (2).
Mengenai orang- orang yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan, diatur dalam pasal 23 jo. UU Nomor 1 Tahun 1974 pasal 73 Kompilasi Hukum Islam, yaitu:
a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri.
b. Suami atau istri.
c. Pejabat yang berwenang hanya serlama perkawinan belum diputuskan.
d. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) pasal 16 Undang- undang ini dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.
Pada pasal 74 Kompilasi mengatur cara beracara dalam permohonan pengajuan pembatalan perkawinan, dan mengatur kapan mulai berlakunya keputusan pembatalan perkawinan tersebut yang dalam Undang- Undang Perkawinan diatur dalam pasal 28. Pasal 74 KHI berbunyi:
1. Permohonan pembatalan perkawinan dapat diajukan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal suami atau istri atau tempat perkawinan dilangsungkan.
2. Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan Pengadilan Agama mempunyai kekuatan hukum yang tepat dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.

Pasal 76 KHI berbunyi:
Batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya.

Pelaksanaan fasakh
Apabila terdapat hal- hal atau kondisi penyebab fasakh itu tidak jelas, dan dibenarkan syara’, maka untuk menetapkan fasakh tidak diperlukan putusan pengadilan. Misalnya terbukti bahwa suami itu masih saudara kandung, saudara susuan atau sebagainya. Akan tetapi, bila terjadi hal- hal seperti berikut, maka pelaksanaannya adalah:
1. Jika suami tidak memberi nafkah bukan karena kemiskinannya sedang hakim telah pula memaksa dia untuk itu. Dalam hal ini, hendaklah diadukan lebih dahulu kepada pihak yang berwenang, seperti Qadi nikah di Pengadilan Agama, supaya yang berwenang dapat menyelesaikannya sebagaimana mestinya. Seperti dijelaskan dalam satu riwayat berikut:





Artinya:
’’ Dari Umar r.a bahwa ia pernah berkirim surat kepada pembesar- pembesar tentara, tentang laki- laki yang telah jauh dari istri- istri mereka supaya pemimpin- pemimpin itu menangkap mereka, agar mereka mengirimkan nafkah, atau menceraikan istrinya. Maka bila mereka telah menceraikannya, hendaklah mereka kirim semua nafkah yang telah mereka tahan.
2. Setelah hakim memberi janji kepadanya sekurang- kurangnya tiga hari mulai dari istri itu mengadu. Bila masa perjanjian itu telah habis, sedangkan si suami tidak juga dapat menyelasaikannya, barulah hakim memfasakhkan nikahnya. Atau dia sendiri yang memfasakhnya di muka hakim setelah diizinkan olehnya.

Akibat hukum fasakh
Pisahnya suami istri akibat fasakh berbeda dengan yang diakibatkan oleh talak. Sebab talak ada talak ba’in dan talak raj’i. Talak raj’i tidak mengakhiri ikatan suami istri dengan seketika. Sedang talak ba’in mengakhirinya seketika itu juga. Adapun fasakh, baik karena hal- hal yang datang belakangan ataupun karena adanya syarat- syarat yang tidak terpenuhi, maka ia mengakhiri ikatan pernikahan seketika itu juga. Selain itu, pisahnya suami istri yang diakibatkan talak dapat mengurangi bilangan talak itu sendiri. Jika suami menalak istrinya dengan talak raj’i, kemudian kembali pada masa iddahnya, atau akad lagi setelah habis masa iddahnya dengan akad baru, maka perbuatannya terhitung satu talak, yang beraerti ia masih ada kesempatan tiga kali talak.
Sedangkan pisahnya suami karena fasakh, hal ini berarti tidak mengurangi bilangan talak, meskipun terjadinya fasakh karena khiyar balig, kemudian kedua suami istri tersebut menikah dengan akad baru lagi, maka suami tetap mempunyai kesempatan tiga kali talak.
Ahli fiqh golongan Hanafi membuat rumusan umum untuk membedakan pengertian pisahnya suami istri sebab talak dan sebab fasakh. Mereka berkata:’’Pisahnya suami istri karena suami, dan sama sekali tidak ada pengaruh istri disebut talak. Dan setiap perpisahan suami istri karena istri, bukan karena suami dan sama sekali tidak ada pengaruh istri disebut talak. Dan setiap perpisahan suami istri karena istri, bukan karena suami, atau karena suami tetap dengan pengaruh dari istri disebut fasakh.
Bunyi lafal fasakh itu umpamanya:’’ Aku fasakhkan nikahmu dari suamimu yang bernama: ...bin: ... pada hari ini’’. Kalu fasakh itu dilakukan oleh istri sendiri di muka Hakim, maka ia berkata:’’ Aku fasakhkan nikahku dari suamiku yang bernama: ...bin: ...pada hari ini’’. Setelah fasakh itu dilakukan, maka perceraian itu dinamakan talak ba’in. Kalau suami hendak kembali kepadanya, maka haruds dengan nikah lagi dengan akad baru. Sedang iddahnya sebagai iddah talak biasa.

III.KESIMPULAN
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa batalnya suatu perkawinan dapat disebabkan karena adanya syarat- syarat yang tidak terpenuhi dalam akad nikah. Selain itu, batalnya perkawinan juga disebabkan karena si istri atau mempelai wanita menderita penyakit belang kulit, gila dan lain sebagainya dan hal itu menjadi batal apabila suami mengetahuinya sebelum berhubungan badan dan apabila suami baru mengetahuinya setelah berhubungan badan, maka maharnya tetap menjadi milik si istri atas hubungan badan yang telah dilakukan . Namun wali dari istri harus memberikan mahar yang serupa kepada si suami atas perbuatannya menipu dan membohonginya.

Hasan Hanafi

BAB. I PENDAHULUAN
Karya produktif manusia selalu mengalami perubahan setiap zamannya. Ketika generasi terdahulu kita berhadapan dengan zaman pra sejarah, banyak peninggalan-peninggalan pra sejarah yang pada masa kini kita mengaanggap sebagai suatu hal yang sepele. Sebut saja alat pemotong daging hewan mangsaan yang pada awalnya adalah batu lonjong, kemudian berangsur-angsur berubah sedikit demi sedikit menjadi batuan lancip hingga pada akhirnya kita menemukan alat pemotong pisau.
Tak bisa dipungkiri, hal seperti ini selain sering terjadi pada produk karya manusia, ternyata juga menyentuh ranah pemikiran filsafat dan berbagai objek ilmu pengetahuan. Ketika para terdahulu kita mempercayakan warisan berbagai macam peninggalan ilmiah tertulis yaitu turas akan tetapi di lain pihak fenomena modernisasi turut juga menuntut kita untuk mampu mengkolaborasi pemikiran Islam terdahulu supaya tetap eksis pada masa kini.
Di tengah proses komparasi Islam dan modernitas tersebut, hadir sosok Hasan Hanafi dan Muhammad Arkoun yang merupakan salah satu pembaharu pemikiran Islam.dengan berbagai pola pikirannya yang mengisi khazanah di dunia Islam.










BAB. II PEMBAHASAN
A. Hasan Hanafi
1. Riwayat hidup
Hasan Hanafi lahir pada 13 Februari 1935, di Kairo, dekat benteng Salahudin, sebuah perkampungan di Al-Azhar. Keluarganya berasal dari Banu Swaif, Mesir Selatan, dan kemudian pindah ke Kairo.
Ketika berusia lima tahun, Hanafi mulai menghafal al-Quran dibawah bimbingan Syaikh Sayyid. Jenjang pendidikan dasarny dilaluinya di Madrasah Sulaeman Ghawish. Setelah itu, diteruskan di sekolah Guru al-Mua’limin. Pada tanggal 11 Oktober 1956, Hanafi meraih gelar sarjana dari kulliyat al-adab (Fakultas Sastra) Universitas Kairo. Di sini, ia sempat mendalami seni music.
Sedangkan gelar doktor dia raih pada 1966 di Universitas Sorbonne, Paris, Prancis dengan disertasi berjudul Essai Sur la Methode d'exegese (Essai tentang Metode Penafsiran). Pada 1971, disertasi ini memperoleh hadiah sebagai karya tulis terbaik di Mesir. Dari Paris, ia kembali ke almamaternya, Universitas Kairo dan mengajar filsafat Islam. Ia kini dipercaya sebagai ketua jurusan program tersebut.
2. Ide Pemikiran Hasan Hanafi
Sebagai pemikir dan filosof Islam, Hasan Hanafi menanamkan model baru dalam memahami khazanah Islam klasik. Pemikirannya tergolong multi-lintas, dan ini merupakan cirri khas gagasannya. Begitu juga dan aspek pembelaan atas pemikiran Islam yang dianggapnya terpinggirkan. Hasan Hanafi tergolong pemikir yang anti kemapanan. Ia selalu berada digaris minoritas kalau tidak tergolong melawan arus. Ketika semua orang menyokong kemapanan, ia berbailk membela kegelisahan. Ketika semua orang berada di pusaran sentralis, ia justru mengambil sikap pinggiran dan seterusnya. Corak pemikiran demikian, dianggap wacana baru, kontemporer, walaupun Hasan Hanafi sendiri menggagasnya sudah cukup lama, dengan karyanya yang berjudul “Kiri Islam”. Pengalaman dan aktivitasnya dalam gerakan dan organisasi, juga kecendikiawannya, menjadikan Hasan Hanafi fasih dalam mengembangkan wawasan kehidupan yang progresif dan berdimensi pembelaan.
Pemikiran itulah yang kelak menjadi perbincangan banyak kalangan. Meskipun banyaj yang mendukung, namun tidak sedikit yang mengkritik atau paling tidak menggugah keabsahan istilah Hasan Hanafi yang menggunakan “Kiri Islam” sebagai suatu identifikasi kesahihan Islam. Bagi kalangan yang mengkritik ide Hanafi, berprinsif bahwa Islam tidak mengenal kiri atau kanan, Islam tetaplah satu, dengan Tuhan yang satu juga. Namun bagi Hanafi, hal itu hanya ada dalam tataran ideologis. Sedangkan secara realitas historis, umat Islam dihadapkan pada suatu pergumulan dan perbenturan berbagai kepentingan dan kekuatan, dan umat Islam hampir saja selalu berada di pihak yang terpinggirkan (kiri). Akan tetapi, sejumlah kalangan menganggap Hasan Hanafi memiliki gagasan rasional, butiran-butiran besar dan berwawasan radikalistik.
3. Latar Belakang Kiri Islam
Semula, “Kiri Islam” adalah nama sebuah jurnal berkala yang diterbitkan Hanafi pada tahun 1981. Nama lengkapnya adalah Al-Yasar al-Islami: Kitabat fi al-Nadhahah al-Islamiyyah (Kiri Islam: Esai tentang Kebangkitan Islam). Dalam jurnalnya ini, Hanafi menjelaskan bahwa dalam rangka mewujudkan kebangkitan Islam, revolusi Islam (tauhid), dan kesatuan umat Islam, diperlukan tiga pilar sebagai penopang kiri Islam. Pilar pertama adalah revitalisasi dan rasionalisasi khasanah Islam klasik (al-turats). Pilar kedua, adalah perlunya menentang peradaban Barat. Hanafi memperingatkan bahaya imperialism cultural Barat dan mengusulkan orientalisme guna mengakhiri mitos peradaban Barat. Sedangkan pilar ketiga adalah analisa terhadap realitas dunia Islam. Menurut Hanafi, dua hal yang menjadi ancaman dunia Islam kini adalah, dari luar Islam sendiri yaitu imperialism, zionisme, dan kapitalisme. Sedangkan ancaman dari dalam Islam adalah kemiskinan, ketertindasan, dan keterbelakangan. Dan inilah yang menjadi focus perhatian dari Kiri Islam, yang pada akhirnya kemudian menjadi trade mark pemikiran Hasan Hanafi.
Istilah “kiri” itu sendiri dipilih oleh Hanafi dengan penuh pertimbangan, setelah sebelumnya melakukan kajian terhadap berbagai istilah yang terkait dengan pemikirannya ini seperti Shahwah atau Yaqzhah (kebangkitan), al-Taqaddun al-Islamy (kemajuan Islam) atau al-Harakah al-Islamiyyah (Gerakan Islam) dan sebagainya. Namun Hanafi merasa istilah-istilah tersebut kurang bias mewakili apa yang menjadi spirit gagasan dan konsep pemikirannya. Maka ia pun memilih istilah al-Yasar al-Islamy (Kiri Islam), dengan berbagai analisa dan pertimbangannya.
Bagi Hanafi, kiri memiliki konotasi ilmiah. Dalam terminology politik, istilah ini sering diartikan sebagai oposisi (al-Mu’aradhah), kritik (al-naqd), juga menjelaskan tentang sesuatu yang ada (al-Waqi’) dengan yang seterusnya (al-mitsal). Penggunaan istilah kiri oleh Hanafi lebih mencerminkan sebuah realita dalam masyarakat muslim yang terbelah menjadi dua kelompok yaitu, antata penguasa dan rakyat, si kaya dan si miskin, yang memiliki dua kepentingan yang sangat bersebrangan. Bagi Hanafi, kelompok kiri Islam adalah representasi dari kaum tertindas, dikuasai, miskin, dan termajinalkan.
Kiri Islam lahir setelah berbagai metode pembaharuan masyarakat kita dalam beberapa generasi hanya menghasilkan keberhasilan yang relative, bahkan untuk sebagiannya gagal terutama dalam mengentaskan masalah keterbelakangan. Hal ini disebabkan karena pertama, berbagai tendensi keagamaan yang terkooptasi kekuasaan menjadi Islam hanya sekedar ritus dan kepercayaan-kepercayaan ukhrowi. Padahal realitas Islam bukan merupakan representasi dan system Islam, sehingga gebyar ritus dan kepercayaan-kepercayaan itu justru menjadi topeng yang menyembunyikan wajah dominasi barat dan kapitalisme nepotisme. Sedangkan kecenderungan keagamaan lain tidak terkooptasi, terjebak kedalam fanatisme primordial, kejumudan, dan berorientasi kekuasaan. Kedua, liberalism yang pernah berkuasa sebelum masa-mas revolusi yang terakhir, ternyata didikte oleh kebudayaan barat, berprilaku seperti penguasa colonial dan hanya melayani kelas-kelas elit yang menguasai asset Negara. Sementara mayoritas rakyat ditempatkan di luar lapangan permainan yang hanya ada dalam kerja-kerja revolusi. Ketiga, marxisme yang mewujdkan keadilan social dan menantang kolonialisme, ternyata tidak diikuti dengan pembebasan rakyat dan pengembangan khazanah mereka sebagai energy untuk mewujudkan tujuan-tujuan kemerdekaan nasional. Keempat, nasionalisne revolusioner yang berhasil melakukan perubahan-perubahan radikal dalam system politik dan ekonomi ternyata tidak mempengaruhi kesadaran mayoritas rakyat. Kiri Islam lahir dalam rangka merealisasikan tujuan-tujuan pergerakan nasional dan prinsif-prinsif revolusi sosialis.
Kiri Islam juga mendapat inpirasi dan keberhasilan revolusi Islam akbar di Iran yang mengejutkan dunia. Dimana rakyat muslim tegak kokoh melawan tekanan militer dan menumbangkan Rezim Syah atas nama “Islam” dan “kekuatan” Allah Yang Maha Besar, penumpas kaum otoriter, revolusi ini dapat disejajarkan dengan dua revolusi besar lain yaitu revolusi Prancis dan Bolsjevik, serta menjadi satu model bagi revolusi keyakinan pada akhir abad XIV. Kiri Islam juga merupakan resultan dan gerakan-gerakan kaum muslimin di Afghanistan, Melayu, Pakistan dan revolusi Aljazair untuk memunculkan Islam sebagai khazanah nasional, yang memelihara otensitas dan kreativitas kaum muslimin juga memperjuangkan rakyatmuslim setempat.
4. Karya-Karya Hasan Hanafi
Ia sekurang-kurangnya pernah menulis 20 buku dan puluhan makalah ilmiah yang lain. Karyanya yang popular ialah Al-Yasar al-Islami (Islam kiri), Min al-`Aqidah ila al-Thawrah (Dari Teologi ke Revolusi), Turath wa Tajdid (Tradisi dan Pembaharuan), Islam in The Modern World (1995), dan lainnya. Ternyata, Hasan Hanafi bukan sekadar pemikir revolusioner, tapi juga reformis tradisi intelektual Islam klasik.
B. Muhammad Arkoun
1. Riwayat Hidup
Muhammad Arkoun lahir pada 1 Februari 1928 di Taourirt-Minoun, Kabilia, sebelah timur, Aljir, suatu daerah yang terletak di pegunungan Berber. Suasana tanah kelahirannya ini sedikit banyak memberikan kontribusi bagi kemajuan intelektual Arkoun, terutama keahliannya menguasai beberapa bahasa.
Setelah merampungkan sekolah menengah atas di Oran, Kabilia, Muhammad Arkoun belajar di universitas Aljir untuk mendalami bahasa dan sastra (1950-1954). Namun saat terjadi perang Aljazair melawan Prancis. Arkoun melanjutkan studinya di Prancis dan menekuni bahasa dan sastra Arab. Tahun 1956-1959, Arkoun menjadi guru sekolah menengah atas di Strasbourg. Tahun 1969, ia memperoleh gelar doctor dengan disertasinya berjudul, “Humanisme dalam Pemikiran Ibnu Maskawih”. Ketajamannya pemikirannya dan pemahamannya terhadap berbagai problema umat Islam, serta penguasaannya terhadap pengetahuan dan peradaban barat yang semakin terasah ketika tinggal di Prancis, menjadikan ia dipercaya untuk mengajar di berbagai universitas di sejumlah Negara. Ia sempat menjadi dosen dan guru besar ilmu Sejarah Pemikiran Islam di Universitas Lyon, Aljazair pada tahun 1969-1972, juga universitas negeri Belanda di Amsterdam pada tahun 1993.
2. Karya-Karya Muhammad Arkoun
Kebanyakan karya Arkoun ditulis dalam bahasa Prancis. Ia memang tak banyak menulis dalam bahasa Inggris. Dalam bentuk buku, satu-satunya karya Arkoun dalam bahasa Inggris adalah Rethinking Islam Today, 1987, buku kecil yang semula merupakan bahan ceramahnya di Center for Contemporary Arab Studies, Universitas Georgetown, Amerika Serikat. Dalam bahasa Indonesia, satu-satunya buku Arkoun adalah Nalar Islam dan Nalar Modern; Tantangan dan Jalan Baru yang memuat beberapa artikelnya. Karyanya yang lain antara lain adalah Lectures de Coran, (Telaah Tentang Al-Quran), La Pense Arabe, (Dunia Pemikiran Arab), dan masih banyak lagi.
3. Ide Pemikiran Muhammad Arkoun
Arkoun mempunyai keunikan tersendiri dalam menggagas pemikirannya. Ia nampaknya memahaminetul tentang barat dengan segala seluk beluknya. Kebanyakan pemikirannya selain terilhami oleh gagasan-gagasan barat kontemporer juga upayanya untuk menghihdupkan pemikiran Islam dalam model dan corak baru. Namun begitu, ia tetap bersikap kritis terhadap para orientalis. Menurut Arkoun, kaum orintalis sering sekali bertolak dari prasangka yang salah terhadap Islam. Oleh karena itu, Arkoun hendak menggantikan Islamoogi Barat yang klasik dengan Islamologi terapan. Idenya ini ia tuangkan dalam bukunya, Pour Une Islamologie Appliquee (Untuk Islamologi Terapan). Tujuannya adalah untuk menciptakan kondisi yang menguntungkan dan membebaskan pemikiran Islam dari berbagai tatanan usanga dan mitologi yang menyesatkan.
Arkoun juga sangat concern terhadap masalah-masalah ekonomi, social, dan politik. Menurutnya, ada kesulitan besar bagi umat Islam untuk mengawinkan sikap yang berorientasi ke masa lalu, yang mendambakan ideology Islam yang otentik, dengan sebuah peradaban modern.
Arkoun menganjurkan untuk melakukan usaha pembebasan atas pemikiran Islam dan kejumudan dan ketertutupan dengan pendekatan kajian historis dan kritis dengan perangkat pemikiran ilmu pengetahuan barat mutakhir. Ia menggabungkan dalam berbagai karya antara pemikiran Islam dengan berbagai ilmu pengetahuan barat mutkhir guna membebaskan Islam dari kejumudan dan ketertutupan, agar umat Islam bisa menghadapi tantangan modern. Landasan utama adalah pengetahuan modern yang menjadi pendekatan Arkoun terhadap Islam, karena menurutnya, sejarah masyarakat Islam sangat berkaitan dengan masyarakat barat. Tidak ada dikotomi antara pemikiran barat dengan pemikiran Islam. Keduanya harus dihargai.
Menurut Arkoun, masuknya modernitas ke dunia Islam melewati suatu proses yang disebut “seruan” atau melalui kekerasan yang bersifat militer. Untuk pertama kalinya hal itu terjadi melalui peristiwa sejarah yang sudah sangat popular, yakni ekspedisi Napoleon Bonaparte ke Mesir (1798-1801). Semenjak itu modernitas tidak saja menimbulkan implikasi positif di dunia Islam, tetapi juga sejumlah problem dan tantangan, apalagi mengingat sudah semakin banyaknya kemajuan barat yang tak terpikirkan olehb kaum muslim. Tantangan tersebut juga akan bertambah banyak seiring dengan pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan di Barat.
Catatan yang penting dalam pemikiran Arkoun adalah perlunya kesadaran dan daya kritis tinggi untuk mencermati khazanah pengetahuan barat yand dipakai dalam mengkaji nilai Islam. Selain itu juga, ia ingin menyatukan semua perbedaan identitas sesama umat Islam dalam bahkan dengan non muslim.
Kata Islam, demikian Arkoun, oleh banyaj kalangan diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis dengan arti tunduk, patuh (istislam), penerjemahan ini menurut Arkoun sama sekali tidak benar. Orang beriman itu bukan tunduk patuh dihadapan Allah tetapi ia merasakan getaran cinta kepada Allah dan rasa ingin menyadarkan diri kepada apa yang diperintahkannya. Ia juga menjelaskan perbedaan antara pengertian Islam al-Quran, Islam para ahli fiqih, dan Islam seperti tercermin dalam berbagai aliran teologi.
Arkoun menganjurkan untuk melakukan usaha pembebasan atas pemikiran Islami dan kejumudan dan ketertutupan dengan pendekatan kajian histories dan kritis dengan perangkat pemikiran ilmu pengetahuan barat mutakhir.
Ia menggabungkan dalam berbagai karya antara pemikiran Islam dengan berbagai ilmu pengetahuan barat mutakhir guna membebaskan Islam dri kejumudan dan ketertutupan agar umat Islam bisa menghadapi tantangan modern. Landasan utama adalah pengetahuan modern yang menjadi pendekatan Arkoun terhadap Islam, karena menurutnya, sejarah masyarakat Islam sangat berkaitan dengan masyarakat barat. Tidak ada dikotomi antara pemikiran barat dnegan pemikiran Islam. Keduanya harus dihargai.
Menurut Arkoun, masuknya modernitas ke dunia Islam melewari suatu proses yang disebut “seruan” atau melalui kekerasan yang bersifat militer. Untuk pertama kalinya hal itu terjadi melalui peristiwa sejarah yang sudah sangat popular, yakni ekspedisi Napoleon Bonaparte ke Mesir (1798-1801). Semenjak itu modernitas tidak saja menimbulkan implikasi positif di dunia Islan, tetapi juga sejumlah peoblem dan tantangan, apalagi mengingat sudah semakin banyaknya kemajuan barat yang tak terpirkirkan oleh kaum muslim. Tantangan tersebut juga akan bertambah banyak seiring dengan pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan di Barat.


PENUTUP
A. Kesimpulan
Hasan Hanafi lahir pada 13 Februari 1935, di Kairo, dekat benteng Salahudin, sebuah perkampungan di Al-Azhar. Keluarganya berasal dari Banu Swaif, Mesir Selatan, dan kemudian pindah ke Kairo
Hasan Hanafi menanamkan model baru dalam memahami khazanah Islam klasik. Pemikirannya tergolong multi-lintas, dan ini merupakan cirri khas gagasannya. Begitu juga dan aspek pembelaan atas pemikiran Islam yang dianggapnya terpinggirkan. Hasan Hanafi tergolong pemikir yang anti kemapanan. Ia selalu berada digaris minoritas kalau tidak tergolong melawan arus. Ketika semua orang menyokong kemapanan, ia berbailk membela kegelisahan.
Muhammad Arkoun lahir pada 1 Februari 1928 di Taourirt-Minoun, Kabilia, sebelah timur, Aljir, suatu daerah yang terletak di pegunungan Berber. Suasana tanah kelahirannya ini sedikit banyak memberikan kontribusi bagi kemajuan intelektual Arkoun, terutama keahliannya menguasai beberapa bahasa.
Kebanyakan pemikirannya selain terilhami oleh gagasan-gagasan barat kontemporer juga upayanya untuk menghihdupkan pemikiran Islam dalam model dan corak baru. Namun begitu, ia tetap bersikap kritis terhadap para orientalis. Menurut Arkoun, kaum orintalis sering sekali bertolak dari prasangka yang salah terhadap Islam. Oleh karena itu, Arkoun hendak menggantikan Islamoogi Barat yang klasik dengan Islamologi terapan. Idenya ini ia tuangkan dalam bukunya, Pour Une Islamologie Appliquee (Untuk Islamologi Terapan).










DAFTAR PUSTAKA

Fattah Wibisono, Abdul. Pemikiran Para Lokomotif Pembaharuan di Dunia Islam, 2009.Ciputat: Rabbani Press,.

http://dedeiswadi.blogspot.com/2009/05/sekularisasi-islam-dan-pemikiran.html
K:\hasanhanafi.htm (Rabu: 23-12-2009)
http://ummahonline.wordpress.com/2007/10/25/hasan-hanafi-memperkenalkan-islam-kiri/

kesehatan mental

PENDAHULUAN
Dzikir, meskipun tidak termasuk ibadah fardu namun sangat dianjurkan dalam Islam. Ini semua disebabkan oleh keutamaan yang terkandung didalam dzikir sangat besar, terutama untuk meningkatkan kedekatan dan kecintaan kepada Allah SWT. Apalagi ketika dunia modern dewasa ini sudah terlalu rasional dasn cenderung matrealis, sehingga manusia merasa penat dan ingin kembali kepada hal-hal yang religious untuk meneguk rasa keagamaan yang hakiki.
Pendek kata, masyarakat modern memang haus akan prilaku kerohanian. Setelah kepuasan duniawi terpenuhi, mereka memerlukan kepuasan lain, yaitu kenikmatan rohani. Sebenarnya hubungan dzikir dengan ketentraman jiwa dapat dianalisis secara ilmiah. Dzikir secara lughawi artinya ingat atau menyebut. Jika diartikan menyebut maka peranan lisan lebih dominan, tetapi jika diartikan ingat, maka kegiatan berpikir dan merasa (kegiatan psikologis) yang lebih dominan. Dari segi ini maka ada dua alur pikir yang dapat diikuti:
Yang pertama, manusia memiliki potensi intelektual. Potensi itu cenderung aktif bekerja mencari jawab atas semua hal yang belum diketahuinya. Salah satu hal yang merangsang berpikir adalah adanya hukum kausalitas di muka bumi ini. Jika seseorang melahirkan suatu penemuan baru, bahwa A disebabkan B, maka berikutnya manusia tertantang untuk mencari apa yang menyebabkan B.
Kedua, manusia memiliki kebutuhan dan keinginan yang tidak terbatas, tidak ada habis-habisnya, padahal apa yang dibutuhkan itu tidak pernah benar-benar dapat memuaskan (terbatas). Oleh karena itu selama manusia masih memburu yang terbatas, maka tidak mungkin ia memperoleh ketentraman, karena yang terbatas (duniawi) tidak dapat memuaskan yang tidak terbatas (nafsu dan keinginan). Akan tetapi, jika yang dikejar manusia itu Allah SWT yang tidak terbatas kesempurnaan-Nya, maka dahaganya dapat terpuaskan. Jadi jika orang telah dapat selalu ingat (dzikir) kepada Allah maka jiwanya akan tenteram, karena dunia manusia yang terbatas telah terpuaskan oleh rahmat Allah yang tidak terbatas.
PEMBAHASAN
Gangguan jiwa yang sudah lama di kenal sejak dulu ialah hysteria. Pada permulan orang menyangka bahwa yang dihinggapi penyakit ini hanya kaum wanita. Akan tetapi kemudian pendapat itu berudah setelah Freud menemukan bahwa laki-laki pun dapat dihinggapi penyakit ini.
Seperti gangguan jiwa lainnya hysteria juga terjadi akibat ketidakmampuan seseorang menghadapi kesukaran-kesukaran, tekanan perasaan, kegelisahan, kecemasan, dan pertentangan batin. Dalam menghadapi kesukaran ia tidak mampu menghadapinya dengan cara yang wajar, lalu melepaskan tanggung jawab dan lari secara tidak sadar kepada gejala-gejala hysteria.
Dari hasil berbagai penyelidikan dapat dikatakan bahwa gangguan jiwa adalah kumpulan dari keadaan-keadaan yang tidak normal, baik yang berhubungan dengan fisik, maupun dengan mental. Keabnormalan tersebut tidak disebabkan oleh salit atau rusak bagian-bagian anggota badan, meskipun kadang-kadang gejalanya terlihat pada fisik.
Keabnormalan itu dapat di bagi atas dua golongan yaitu: golongan jiwa (neurose) dan sakit jiwa (psychose).
Neurosis pada mulanya diartikan sebagai ketidakberesan susunan syaraf tetapi psikolog akhirnya mengubah pengertiannya dengan gangguan-gangguan yang terdapat pada jiwa seseorang. Perubahan pengertian ini diakibatkan oleh hasil penelitian bahwa penyebab neurosis bukan hanya ketidakberesan syaraf, tetapi juga ketidakberesan sikap, perilaku, atau aspek mental seseorang.
Dengan demikian, neurosis dianggap sebagai suatu penyakit mental yang belum begitu mengkhawatirkan, karena ia baru masuk dalam kategori gangguan-gangguan, baik diakibatkan oleh susunan syaraf maupunkelainan perilaku, sikap, dan aspek mental lainnya. Gangguan-gangguan tersebut bisa berubah mengkhawatirkan apabila penderitanya menganggap enteng dan tidak berusaha mencari terapinya.
Neurosis memiliki karakteristik yaitu, rendahnya tingkat toleransi terhadap strees, bersifat egosentris, dan terganggunya hubungan antar pribadi, kurangnya wawasan atau pengetahuan dan bersikap kaku, merasa tidak puas dan bahagia, cemas dan gelisah, kurang memiliki kemapuan pengendalian diri dalam prilaku, gangguan psikogolisa dan somatic, tegang dan mudah marah.
Sedang psikosis adalah suatu penyakit mental yang parah, dengan ciri khas adanya disorganisasi proses pikiran, gangguan dalam emosionalitas, disorientasi waktu, ruang dan person, dan dalam beberapa kasus disertai halusinasi, delusi, dan ilusi. Halusinasi adalah tangkapan atau persepsi dari salah satu pancaindera yang keliru karena tanpa disertai rangsangan. Atau, pengalaman sensorik yang palsu. Misalnya, penderita mendengar sesuatu yang sebenarnya tidak ada, sehingga penderita berbicara atau tertawa sendiri untuk merespons suara tersebut. Delusi adalah suatu perasaan kepercayaan atau keyakinan yang keliru, yang tidak dapat diubah dengan penalaran atau dengan jalan penyajian fakta. Misalnya, penderita menganggap dirinya kaya dengan memakai perhiasan di tubuhnya, tetapi sebenarnya ia miskin dan memakai perhiasan dari buahbuahan bukan dari emas permata. Ilusi adalah salah tafsiran dari tangkapan atau pengamatan pancaindera yang menyimpang. Misalnya, penderita melihat air di jalan raya padahal sesungguhnya tidak ada, sehingga ia main-main air di jalan tersebut. Bentuk-bentuk psikosis adalah manic depressive psychosis, paranoia, schizophrenia, paresis, dan alcoholic psychosis.
Sebagaimana yang dijelaskan pada perspektif timbulnya gangguan mental di atas, tak satupun dari uraiannya melihat aspek spiritual dan agama sebagai salah satu dari perspektif timbulnya psikopatologi pada diri seseorang. Disadari atau tidak, dalam perkembangan kehidupan manusia banyak ditemukan gangguan mental yang disebabkan oleh faktor-faktor spiritual dan agama, misalnya kecemasan dan keresahan yang terus menerus akibat perbuatan dosa dan maksiat, seperti keresahan orang yang melahirkan anak dari hasil perzinaan. Selama anak itu masih di hadapannya maka selama itu pula ia mengingat dosa yang diperbuat dan mengakibatkan keresahan. Hal itu tentunya hanya dapat dijelaskan melalui perspektif religius.
Salah satu perspektif spiritual dan religius adalah sebagaimana yang ditawarkan oleh Al-Ghazali. Psikopatologi yang merusak sistem kehidupan spiritualitas dan keagamaan seseorang oleh Al-Ghazali disebut dengan al-akhlaq al-khabisah. Dalam Ihya Ulum al-din, ia berkata : akhlak yang buruk merupakan penyakit hati dan penyakit jiwa.
Senada dengan pernyataan di atas, Al-Razi dalam al-Thibb al-Ruhaniyah, menyatakan bahwa akhlak (yang mahmudah) merupakan pengobatan ruhani. Hal itu menunjukkan bahwa salah satu bentuk psikopatologi adalah perilaku (akhlak) tercela, sedangkan psikoterapinya adalah perilaku terpuji. Pernyataan tersebut dibenarkan sebab prinsip utama kesehatan mental adalah adanya penyesuaian diri seseorang terhadap lingkungannya.
Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam Ighasah al-Lahfan membagi kalbu (sebagai inti dari struktur psikis manusia) dalam tiga bagian : pertama, kalbu shahih (jiwa yang sehat), yaitu kalbu yang hidup (hayy), bersih dan selamat. Maksud kalbu yang sehat adalah kalbu yang selamat dari belenggu hawa nafsu, sehingga ia mampu melaksanakan ibadah dan melakukan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Aktivitas kalbu ini hanya diorientasikan kepada Allah, baik dalam takut, berharap, cinta, berserah diri, ikhlas, dan bertaubat. Kalbu model ini dapat dipahami dalam QS. Al-Syu’ara ayat 89:

Artinya:
“kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih (qalb salim).”

Kedua, kalbu mayt (jiwa yang mati), yaitu kalbu yang tidak lagi mengenal Tuhan-nya, meninggalkan ibadah, perbuatan hanya untuk menuruti syahwat sehingga mengakibatkan kebencian dan murka Tuhan. Kalbu model ini menjadikan hawa nafsu sebagai pemimpinnya, syahwat sebagai panglimanya, kebodohan sebagai sopirnya, lupa sebagai kendaraannya. Jika ia berpikir hanya menghasilkan sesuatu yang bermotivasi duniawi.
Ketiga, kalbu marid (jiwa yang sakit), yaitu kalbu yang hidup tetapi memiliki penyakit kejiwaan, seperti iri hati, sombong atau angkuh, membanggakan diri, gila kekuasaan, dan mudah membuat kerusakan di muka bumi. Model yang ketiga ini dapat dipahami dalam QS. Al-Baqarah ayat 10 dan Al-Hajj ayat 53:

“Di dalam hati mereka ada penyakit lalu ditambah oleh Allah penyakitnya”. (Al-Baqarah : 10)

“Agar dia menjadikan apa yang dimasukkan oleh setan itu sebagai cobaan bagi orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan yang kasar hatinya”. (QS. Al-Hajj : 53)
Dari kutipan tersebut dapat dipahami bahwa salah satu model psikopatologi dalam Islam adalah semua prilaku batiniah yang tercela, yang tumbuh akibat menyimpang (inkhiraf) terhadap kode etik pergaulan, baik secara vertikal (Illahiyah) maupun horizontal (insaniyah). Penyimpangan perilaku batiniah tersebut mengakibatkan penyakit dalam jiwa seseorang, yang apabila mencapai puncaknya mengakibatkan kematian Penderita penyakit batiniah ini secara fisik boleh jadi berpenampilan gagah, tegap, dan kuat, namun hatinya rapuh, menderita, resah, gelisah, gersang dan tidak mampu menikmati kejayaan fisiknya.
Sejalan dengan konsep di atas, Abhidamma dari Psikologi Timur mengemukakan bahwa faktor psikopatologis sentral, yakni delusi (moha), adalah bersifat perseptual. Delusi adalah kegelapan jiwa yang menyebabkan persepsi mengalami kesalahan dalam menangkap obyek kesadaran. Delusi merupakan ketidaktahuan dasar, pandangan yang salah, dan pemahaman yang tidak tepat yang menjadi sumber utama penderitaan manusia. Kesamaan konsep Abhidamma dengan para Psikolog Muslim ini disebabkan oleh kesamaan pendekatan yang digunakan, yaitu dari pendekatan Psiko-spiritual yang didasarkan atas nilai agama. Sumber penyakit jiwa adalah dosa yang mengakibatkan kegelapan jiwa dan penderitaan manusia.

"Hanya dengan mengingat Allah, hati menjadi tenteram". (QS. Ar Rad : 28)

Berdasarkan penelitian Dr. Herbert Benson dari Fakultas Kedokteran Harvard University menjelaskan bahwa ibadah dan keimanan kepada Allah memiliki lebih pengaruh baik kepada manusia. Menurut Benson tidak ada keimanan yang banyak memberikan kedamaian jiwa sebagaimana keimanan kepada Allah. Menurutnya, bahwa jasmani dan ruhani manusia telah dikendalikan untuk percaya kepada Allah.
Sementara itu Prof. Dr. Dadang Hawari, dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia menyatakan bahwa berdoa dan berdzikir merupakan bentuk komitmen keagamaan seseorang yang merupakan unsur penyembuh penyakit atau sebagai psikoterapeutik yang mendalam. Doa dan dzikir merupakan terapi psikoreligius yang dapat membangkitkan rasa percaya diri dan optimisme yang paling penting selain obat dan tindakan medis.
Berkaitan dengan itu , doa dan dzikir merupakan komitmen keimanan seseorang. Doa adalah permohonan yang dimunajatkan ke kehadirat Allah SWT. Dzikir adalah mengingat Allah SWT dengan segala sifat-sifat-Nya.
Secara umum dzikrullah adalah perbuatan mengingat Allah dan keagungannya dalam bentuk yang meliputi hampir semua ibadah, perbuatan baik, berdoa, membaca Al Quran, mematuhi orang tua, menolong teman yang dalam kesusahan dan menghindarkan diri dari kejahatan dan perbuatan dzalim. Dalam arti khusus dzikrullah adalah menyebut nama Allah sebanyak-banyaknya dengan memenuhi tatatertib, metode, rukun dan syarat sesuai yang diperintah oleh Allah dan rosulnya.
Dzikir dibagi tiga. Pertama, dzikir atas dzatnya, yakni pengucapan "laa ilaaha illallaah". Kalimat ini untuk menyeimbangkan dan menselaraskan hati dengan Sang Pencipta. Kedua dzikir atas ilmunya, yakni pengucapan Muhammadar Rosuulullah. Allah memberikan pengetahuan dengan perantaraan Rosul SAW. Melalui beliau dituturkan kepada yang berhak mendapatkan petunjuk. Ali R.A. adalah penghubungnya atau wasilah, sesuai hadits "Aku adalah kotanya ilmu, dan Ali adalah pintunya". Ketiga, dzikir atas af'al-Nya, yakni pengucapan "Fi kulli lamhatin wa nafasin Adada maa wasi'ahuu 'Ilmullah (sebanyak kedipan dan nafas mahluk, serta seluas Ilmu Allah).
Pengungkapan dzikir tersebut merupakan kalimat tafakkur atas penciptaan Allah berupa gerak nafas dzikir seluruh mahluk-Nya baik yang tidak terlihat. Penghayatan dzikir ini sesuai dengan firman Allah "Yakni orang-orang yang berdzikir kepada Allah dengan berdiri, duduk dan berbaring dan bertafakkur tentang penciptaan langit dan bumi." (QS. Ali Imran: 191)
Konsep penghayatan dzikir tidak berhenti pada pengucapan dan pelantunan dzikir semata, tetapi sentuhan jiwa kepada Allah Yang Rahman dan Rahim menjadi cermin utama dalam menyikapi berbagai keadaan dalam kehidupan. Allah SWT yang menjadi obyek pada saat kita dzikir akan berubah menjadi subyek, ketika perwujudan dan sifat-sifat Allah yang tampak pada setiap ciptaan-Nya mengambil tempat pada sikap dan perilaku yang berdzikir. Dengan bertafakkur pada kondisi demikian, kesadaran terhadap luasnya ilmu Allah akan tampak begitu nyata.
Dzikir kepada Allah bukan hanya semata-mata mengucapkan Asma Allah didalam lisan atau di dalam pikiran dan hati. Akan tetapi dzikir kepada Allah adalah ingat kepada Asma, Dzat, Sifat dan Af'al-Nya. Kemudian memasrahkan kepada-Nya hidup dan mati, sehingga tidak ada lagi rasa khawatir, takut maupun gentar dalam menghadapi segala macam mara bahaya dan cobaan.Berserah diri menjadi kata kunci dalam memasuki pengalaman untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Berserah diri tidak mungkin bila kita masih memiliki ego tentang diri kita masing-masing.
Hati bagaikan cermin. Setiap kali kita melakukan dosa maka ibarat debu yang menempel pada cermin. Ketika hati kita sudah bersih, alampun menyambut dengan seluruh aliran energi yang ada di permukaannya. Pada akhirnya masalah bukan lagi hal yang menakutkan, akan tetapi justru menjadi bumbu yang harus diramu menjadi energi untuk hisup. Energi yang mengalir dengan benar maka akan membawa keselarasan dalam hidup kita. Energi yang kita alirkan pada arah yang keliru, akan menghasilkan kerusakan seluruh dimensi kehidupan kita.
Psikoterapi Dzikir dan Doa
Psikoterapi dzikir dan doa dapat dijadikan psikoterapi untuk pengobatan keguncangan jiwa, kecemasan dan gangguan mental. Dzikir dan doa adalah metode kesehatan mental. Dengan berdzikir dan berdoa orang akan merasa dekat dengan Allah SWT dan berada dalam perlindungan dan penjagaannya. Dengan demikian akan timbul rasa percaya diri, teguh, tenang, tenteramdanbahagia.





Tahap Psikoterapi Doa

1. Tahap Kesadaran Sebagai Hamba
Pada tahap ini adalah tahap pembangkitan kesadaran. Kesadaran sebagai hamba dan kesadaran kelemahan manusia. Sebelum berdoa seorang hamba diharuskan untuk merendahkan diri kepada Allah. Pada kesadaran ini seseorang disadarkan akan gangguan kejiwaan atau penyakit sebagai bagian diri kemudian dimintakan kesembuhan kepada Allah.

2. Tahap Kesadaran Akan Kekuasaan Allah
Kesadaran akan kekuasan Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang, Yang memberi Kesembuhan akan sesuatu penyakit. Tahap ini menumbuhkan keyakinan kita kepada Allah atas kemampuan Allah dalam menyembuhkan.

3. Tahap Komunikasi
Berkomunikasi dengan Allah adalah suatu hal yang penting, tahap ini bisa berupa pengakuan dosa. Dengan hati yang bersih maka kontak dengan Allah akan lebih jernih.
Pengungapan kegundahan hati dan kesulitan yang dihadapi akan menumbuhkan rasa dekat dengan Allah. Permohonan doa kesembuhan terhadap apa yang dialami, jangan memaksakan kehendak agar Allah mengabulkan.Tahap menunggu dan diam, namun hati tetap mengadakan permohonan kepada Allah. Pada tahap ini kita pasrah kepada Allah dan mengikuti kemauannya Allah dan apa kehendak Allah. Maka dengan sikap ini diharapkan akan dapat menangkap jawabanAllah.

Proses Terapi Doa
1) Tumbuhkan niat dalam diri untuk disembuhan oleh Allah.
2) Rilekskan tubuh, kendorkan dari mulai kaki hingga kepala, jangan ada ketegangan otot.
3) Sadari kesalahan yang dirasakan, amati keluhan itu, ikuti dengan kesadaran bahwa kita lemah, tidak berdaya dan tidak memiliki kemampuan apa-apa.
4) Sadari kebesaran Allah melalui alam ciptaan-Nya, Dia yang memberi hidup dan mati, Dia yang memberi sembuh dan sakit.
5) Ungkapkan seluruh keluhan yang dirasakan kepada Allah.
6) Mintakan kesembuhAn kepada Allah
7) Tetap rilek dan masih pada posisi memohon kepada Allah
8) Pasrah kepada Allah sertai dengan keyakinan bahwa Allah menjawab doa yang dipanjatkan.
9) Menunggu jawaban doa, diam namun tetap ingat memohon kepada Allah).





















KESIMPULAN

Psikoterapi dzikir dan doa dapat dijadikan psikoterapi untuk pengobatan keguncangan jiwa, kecemasan dan gangguan mental. Dzikir dan doa adalah metode kesehatan mental. Dengan berdzikir dan berdoa orang akan merasa dekat dengan Allah SWT dan berada dalam perlindungan dan penjagaannya. Dengan demikian akan timbul rasa percaya diri, teguh, tenang, tenteram dan bahagia
Tahap Psikoterapi Doa
1. Tahap Kesadaran Sebagai Hamba
Pada tahap ini adalah tahap pembangkitan kesadaran. Kesadaran sebagai hamba dan kesadaran kelemahan manusia. Sebelum berdoa seorang hamba diharuskan untuk merendahkan diri kepada Allah. Pada kesadaran ini seseorang disadarkan akan gangguan kejiwaan atau penyakit sebagai bagian diri kemudian dimintakan kesembuhan kepada Allah.
2. Tahap Kesadaran Akan Kekuasaan Allah
Kesadaran akan kekuasan Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang, Yang memberi Kesembuhan akan sesuatu penyakit. Tahap ini menumbuhkan keyakinan kita kepada Allah atas kemampuan Allah dalam menyembuhkan.
3. Tahap Komunikasi
Berkomunikasi dengan Allah adalah suatu hal yang penting, tahap ini bisa berupa pengakuan dosa. Dengan hati yang bersih maka kontak dengan Allah akan lebih jernih.
Pengungapan kegundahan hati dan kesulitan yang dihadapi akan menumbuhkan rasa dekat dengan Allah. Permohonan doa kesembuhan terhadap apa yang dialami, jangan memaksakan kehendak agar Allah mengabulkan.Tahap menunggu dan diam, namun hati tetap mengadakan permohonan kepada Allah.


DAFTAR PUSTAKA

Darajat, Zakiah. Kesehatan Mental, (Jakarta: Gunung Agung, 2001).
Heny Narendrany Hidayati dan Andri Yudiantoro, Psikokolohi Agama, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007), Cet-1 hal 164
http://islamic.xtgem.com
http://m.cybermq.com
IBN THUFAIL
1. Biografi
Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Muhammad ibn Abd al-Malik ibn Muhammad ibn Muhammad Ibn Thufail al-Qaisyi. Di barat dikenal dengan Abubacer. Ia dilahirkan di Guadix, 40 mil di Timur Laut Granada pada 506 H (1110 M) dan meninggal di kota Maraqesh, Maroko pada 581 M (1185 M). sebagai seorang turunan suku Qaisy, suku Arab terkemuka, ia dengan mudah mendapatkan fasilitas belajar, apalagi kecintaannya kepada buku-buku dan ilmu pengetahuan mengalahkannya cintanya kepada sesame manusia. Hal ini mengantarkannya menjadi seorang ilmuan dalam banyak bidang—seperti lazimya ilmuan pada waktu itu—meliputi kedokteran, kesusastraan, matematika, dan filsafat. Kedokteran dan filsafat dipelajarinya di Sevile dan Gordova.
Pada waktu khalifah memintanya melanjutkan pekerjaan Ibn Bajjah untuk mengomentari karya Aristoteles, ia menamfik dan mengusulkan ilmuan muda, Ibn Rusyd (1169 M). Sikap Ibn Thufail menunjukan kematangan ilmunasy sehingga ia merasa perlu mempromosikan Ibn Rusyd pada jabatan terhomat dan pelanjut sesuai dengan sifat ilmunya yang progress. Tentu saja hal ini tidak terlepas dari minat khalifah terhadap ilmu sebagai factor pemicu.
Dalam bidang filsafat, Ibn Thufail dengan gigih menserasikan sains Yunani dengan hikmah timur, atau antara filsafat dengan agama. Wujud konkrit perpaduan ini tergambar dalam karyanya Hayy Ibn Yaqzhan (hidup anak sisadar). Tamsil yang dimunculkannya dalam roman filsafat ini sarat makna dan kritis.
Ibn Thufail mempunyai kedudukan penting dalam perkembangan filsafat di Dunia Islam Barat, karena posisinya sebagai penjelas dan pelanjut Ibn Bajjah dan perambah jalan untuk Ibn Rusyd. Ibn Bajjah mendekatkan filsafat Yunani dari Timur, sedangkan Ibn Rusyd mengantarkanya ke Barat setelah “diberi muatan keislaman.”

2. Karyanya
Sebenarnya Ibn Thufail lebih menggemari merenung daripada kecenderungan untuk menulis, karena itu tidak heran kalu hasil karyanya sedikit untuk generasi berikutnya. Namun, beberapa buku biografi menyebutkan bahwa ia sempat menulis bebebrapa buku dalam beberapa bidang: filsafat, fisika, kejiwaan dan kedokteran. Tetapi karangan tersebut hanya satu yang sampai kepada kita, Hayy Ibn Yaqzhan yang merupakan inti sari dari pemikiran-pemikiran Ibn Thufail, dan telah diterjemahakan kedalam beberapa bahasa. Menurut Montgomery Wat, buku inilah yang mungkin merupakan karya filsafat dalam bahasa Arab paling menarik. Suatu manuskrip di perpustakaan Escurial yang berjudul Asrar al-Hikamah al-Masyriqiyyah (rahasia-rahasia filsafat timur) hanyalah sebagai ringkasan dari buku Hayy tersebut. Nama lengkap buku tersebut adalah Risalah Hayy Ibn Yaqazhan fi Asrar al-Hikmah al-Masyriqiyyah. Adapun buku karangan lainya diperkirakan hilang dil saat terjadi kekacauan dan peperangan Magribi.
Tetapi, menurut Ibn Khatib ada dua buku tentang kedokteran yang dapat dikatakan merupakan karya ibn Thufail, setidaknya ditulis oleh dua orang muridnya yang dipersembahkan kepada Ibn Thufail, yaitu karya Al-Bithruji berjudul Kitab al-Hai’ah, dan karya Ibn Rusyd berjudul Fi al-Buqa’ al-Maskunah al-Ghair al-Maskunah.

3. Filsafatnya
Untuk memaparkan pandangan-pandangan filsafatnya, ibnu Thufail memilih metode khusus dalam bentuk kisah filsafat, dalam bukunya yang terkenal Hayy Ibnu Yaqzhan. Kisah ini di tulis oleh ibnu Thufail sebagai jawaban atas permintaan seorang sahabatnya yang ingin mengetahui hikmah ketimuran (al-hikmat al-masyriqiyyat). Selain itu berat dugaan tulisan ibnu Thufail ini erat kaitannya dengan serangan al-Ghazali terhadap dunia filsafat. Dikala itu, orang-orang takut berfilsafat dan usaha-usaha para filosof muslim yang telah mendamaikan filsafat dengan agama telah sirna sama sekali. Juga buku-buku filsafat yang selama ini hanya untuk orang-orang awam. Karena itu, amat logis buku Ibnu Thufail ini menetralisasi keadaan dan ingin mengembalikan filsafat ke tempat yang semula, yakni filsafat bukanlah “barang” haram. Pada sisi lain, agar filsafat dapat dimengerti oleh orang-orang awam, filsafat dikomunikasikan lewat kisah yang amat menarik. Biasanya komunikasi melaluin kisah (cerita), diminati dan cepat diterima. dengan demikian, bila hal ini dapat diterima, tujuan yang hendak dicapai Ibnu Thufail melebihi akibat serangan Al-Ghazali yakni ingin memasyarakatkan filsafat.
Dalam kisah tersebut dapat dilihat pendirian Ibnu Thufail tentang hubungan manusia dengan Allah, manusia dengan manusia, manusia dengan alam sekitarnya, dan hubungan antara akal dan agama.
Sebelum filsafat Ibnu Thufail dipaparkan lebih jauh, ada baiknya dikemukakan ringkasan kisah Hayy ibn Yaqzhan sebagai berikut.
Di kepulauan India ada sebuah pulau yang tidak berpenghuni manusia. Pulau itu sepi dan terpencil, beriklim sedang, dan terletak di garis Khatulistiwa yang oleh Harun Nasution dikatakan Kepulauan Indonesia. Pendapat ini ada benarnya karena kepulauan yang dilewati khatulistiwa memang Indonesia. Selain itu, kebiasaan masa lalu menyebut kepulauan timur ini dengan kepulauan India. di pulau ini lahir seorang bayi secara alamiah, tanpa ayah dan ibu. Berarti lewat tulisannya ini Ibnu Thufail mendukung teori evolusi.
Riwayat lain menyebutkan, seorang perempuan telah kawin rahasia dengan seorang laki-laki dan memperoleh seorang bayi laki-laki. Karena takut kepada kakaknya yang menjadi raja di tempat itu, perempuan ini memasukan bayinya ke dalam peti dan melemparkannya ke laut. Dengan hempasan ombak, peti itu tersangkut di pulau terpencil yang tidak berpenghuni manusia. Bayi yang dimaksud adalah Hayy. Seekor rusa yang anaknya baru saja mati segera mendekati peti. Bayi yang ada dalam peti itu ia kira anaknya. Sebagai lazimnya seoramg ibu, rusa menyusui bayi itu dan sebaliknya bayi itu memandang rusa yang menyusuinya sebagai ibunya.
Hayy tumbuh dengan sehat. Sejalan dengan pertumbuhan jasmaninya, jiwa dan pemikirannya semakin berkembang. Ia memperhatikan dan mulai berpikir tentang segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Lebih dari itu, ia mampu mempergunakan akalnya sedemikian rupa sehingga dapat memahami hakikat alam empiris dan mampu berpikir hal-hal yang bersifat metafisis. Pemikirannya yang mendalam tentang segala sesuatu yang dapat ditangkap pancaindera, menimbulkan keyakinan adannya Allah, Pencipta alam semesta. Dengan penuh kesungguhan dan keikhlasan, ia berusaha membebaskan dirinya dari dunia empiris melalui kontemplasi penuh kepada Allah. Akhirnya ia memperoleh apa yang ia kehendaki, yakni ittihad (menunggal dengan Allah) atau ittishal (berhubungan langsung) dengan Allah.
Di saat ia berada dalam situasi dan pengalaman esoteric seperti itu, ia berjumpa dengan seorang laki-laki, namanya Absal. Absal datang dari suatu pulau yang tidak jauh dari tempat tinggal Hayy. Di pulau ini ia berusaha untuk menjalankan ketakwaan dan kesalehan. Hayy tidak memahami bahasa manusia. Setelah Absal mengajarinya, keduanya berkomunikasi secara lancar, saling menceritakan pengalaman masing-masing, dan saling bertukar pikiran. Absal memberitahu Hayy tentang konsep-konsep Qur’ani, yang berkenaan dengan Allah, malaikat-malaikat, nabi-nabi, hari akhirat, dan lain-lain.
Melalui informansi yang diperoleh dari Absal, Hayy menyadari bahwa metode salafi yang ia miliki telah membawa dirinya ke tingkat pengetahuan dan ma’rifat yang sejalan dengan ajaran agama yang diceritakan Absal. Ia pun tahu bahwa orang-orang yang membawa keterangan-keterangan dengan ucapan yang benar itu adalah rasul dan ia percaya kepadanya dan mengakui kerosulannya. Sebaliknya, Hayy juga menjelaskan pengalamannya dengan Allah kepada Absal. Keterangan Hayy ini memperkuat keyakinan Absal tentang ajaran agama yang diterimanya dan bertemulah akal dan wahyu (al-manqul wa al-ma’qul).
1. Metafisika (Ketuhanan)
Dari hasil pengamatan dan pemikiran tentang alam semesta serta pengalaman hidupnya, Hayy sampai pada suatu kepastian bahwa alam ini diciptakan oleh Allah. Dengan akalnya, ia telah mengetahui adanya Allah. Dalam membuktikan adanya Allah Ibnu Thufail mengemukakan tiga argument sebagai berkut.


a. Argumen gerak (al-harakat)
Gerak alam ini menjadi bukti tentang adanya Allah, baik bagi orang yang menyakini alam baharu maupun bagi orang yang menyakini alam kadim.
Bagi orang yang menyakini alam baharu, berarti alam ini sebelumnya tidak ada, kemudian menjadi ada. Untuk menjadi ada mustahil dirinya sendiri mengadakan. Oleh karena itu, mesti ada penciptanya. Pencipta inilah yang menggerakan alam dari tidak ada menjadi ada, yang disebutnya Allah. Sementara itu, bagi orang yang menyakini alam kadim, ala mini tidak didahului oleh tidak ada dan selalu ada-gerak alam ini kadim, tidak berawal dan berakhir. Karena zaman tidak mendahuluinya, arti kata gerak ini tidak didahului oleh diam. Adanya gerak ini menunjukan secara pasti adanya Penggerak (Allah).
Secara faktual, di sinilah terletaknya keistimewaan argumen gerak Ibnu Thufail yang dapat membuktikan adanya Alla, baik bagi orang yang menyakini alam kadim maupun bagi orang yang menyakini alam baharu. Bagi orang yang menyakini alam kadim, penggerak ini berfungsi mengubah materi di alam dari potensial ke aktual, arti kata mengubah satu bentuk ada kepada bentuk ada yang lain. Sementara itu, bagi orang yang menyakini alam baharu, penggerak ini berfungsi mengubah alam dari tidak ada (al-‘adam) menjadi ada. Argument gerak ini-sebagai bukti alam kadim dan baharunya-belum pernah dikemukakan oleh filosof Muslim manapun sebelumnya. Dengan argument ini, Ibnu Thufail memperkuat argumentasi bahwa tanpa wahyu akal dapat mengetahui adanya Allah.
b. Argumen materi (al-madat) dan bentuk (al-shurat)
Argument ini, menurut ibnu Thufail, dapat membuktikan adanya Allah, baik bagi orang yang menyakini alam kadim maupun alam baharu. Argumen ini didasarkan pada ilmu fisika dan masih ada korelasinya dengan dalil yang pertama (al-harakat). Hal ini dikemukakan oleh ibnu Thufail dalam kumpulan pikiran yang terkait antara satu dengan lainnya, yakni sebagai berikut.
1) Segala yang ada ini tersusun dari materi dan bentuk.
2) Setiap materi membutuhkan bentuk.
3) Bentuk tidak mungkin bereksitensi penggerak.
4) Segala yang ada (maujud) untuk bereksitensi membutuhkan pencipta.
Dengan argument di atas dapat dibuktikan adanya Allah sebagai Pencipta alam ini. Ia Mahakuasa dan bebas memilih serta tidak berawal dan tidak berakhir.
Bagi orang yang menyakini alam kadim, pencipta ini berfungsi mengeksistensi wujud dari satu bentuk pada bentuk lain. Sementara itu, bagi orang yang menyakini alam baharu, Pencipta ini berfungsi menciptakan alam dari tidak ada menjadi ada. Pencipta (Allah) merupakan illat (sebab) dan alam merupakan ma’lul (akibat). Antara keduanya mempunyai perbedaan yang tajam dan tidak bisa disamakan dalam berbagai aspek, seperti Allah kekal dan kaya, sedangkan alam berkesudahan dan berkehendak.

c. Argument al-Ghaiyat dan al-inayat al-ilahiyat
Argument ini berdasarkan pada kenyataan bahwa segala yang ada di alam ini mempunyai tujuan tertentu. Ia merupakan inayah dari Allah. Argument ini pernah dikemukakan Al-Kindi dan Ibnu Siena sebelumnya. Tampaknya, argument ini lebih banyak diilhami oleh ajaran Islam. Tiga ‘illat (sebab) yang dikemukakan oleh Aristoteles, al-madat (materi), al-shurat (bentuk), dan al-failat (pencipta)- dilengkapi oleh ibnu Siena dengan ‘illat al-ghaiyat (sebab-tujuan).
Ibnu Thufail (juga filosof muslim lain), yang berpegang dengan argument ini, sesuai dengan Qur’ani menolak bahwa alam diciptakan oleh Allah secara kebetulan. Pencipta seperti itu bukan timbul dari Pencipta yang Maha Bijaksana.
Dalam hal zat dan sifat Allah ibnu Thufail sejalan dengan pendapat Mu’tazilah. Sifat-sifat Allah yang Maha Sempurna tidak berlainan dengan zat-Nya. Allah mengetahui dan berkuasa bukan dengan sifat ilmu dan kudrat yang melekat pada zat-Nya, tetapi dengan zat-Nya sendiri. Allah adalah pemberi wujud pada semua makhluk. Ia tidak mungkin dikhayalkan, karena khayalan hanya mungkin terjadi terhadap hal-hal inderawi.

2. Fisika
Menurut Ibnu Thufail alam ini kadim dan juga baharu. Alam kadim karena Allah menciptakannya sejak azali, tanpa didahlui oleh zaman (taqaddum zamany). Dilihat dari esensinya, alam adalah baharu karena terwujudnya alam (ma’lul). bergantung pada zat Allah (‘illat).
Pandangan ibnu Thufail mengenai kadim dan baharunya alam, tampaknya merupakan kompromi antara pendapat Aristoteles yang menyatakan alam kadim dengan ajaran kaum ortodok Islam yang menyatakan alam baharu. Untuk jelasnya, ibnuThufail memberikan contoh sebagai berikut.
Sebagaimana ketika anda menggenggam suatu benda, kemudian anda gerakan tangan anda, maka benda mesti bergerak mengikuti gerak tangan anda. Gerakan benda tersebut tidak terlambat di segi zaman dan hanya keterlambatan dari segi zat. Demikian alam ini seluruhnya merupakan akibat dan diciptakan oleh Allah tanpa zaman. Firman Allah: “Sesungguhnya keadaann-Nya, apabila Ia menghendaki sesuatu hanyalah berfirman kepada-Nya: Jadilah maka jadilah ia. (QS. Yasin: 50).

3. Jiwa
Jiwa manusia menurut ibnu Thufail, adalah makhluk yang tertinggi martabatnya. Manusia terdiri dari dua unsur, yakni jasad dan roh (al-madat wa al-ruh). Badan tersusun dari unsur-unsur, sedangkan jiwa tidak tersusun. Jiwa bukan jisim dan bukan pula suatu daya yang ada di dalam jisim. Setelah badan hancur atau mengalami kematian, jiwa lepas dari badan, dan selanjutnya jiwa yang pernah mengenal Allah selama berada dalam jasad akan hidup dan kekal.
Menurut ibnu Thufail (juga filosof muslim sebelumnya) jiwa terdiri dari tiga tingkat: dari yang rendah jiwa tumbuhan (al-nafs al- nabatiyat) ke tingkat yang lebih tinggi jiwa hewan (al-nafs hayawaniyat), kemudian ke tingkat jiwa yang martabatnya lebih tinggi dari keduanya jiwa manusia (al-nafs al-natiqat).
Mengenai keabadian jiwa manusia dan hubungannnya dengan Allah, ibnu Thufail mengelompokan jiwa dalam tiga keadaan berikut.
a. Jiwa yang sebelum mengalami kematian jasad telah mengenal Allah, mengagumi kebesaran dan keagungan-Nya, dan selalu ingat kepada-Nya, maka jiwa seperti ini akan kekal dalam kebahagiaan.
b. Jiwa yang telah mengenal Allah, tetapi melakukan maksiat dan melupakan Allah, jiwa seperti ini akan abadi dalam kesengsaraan.
c. Jiwa yang tidak pernah mengenal Allah selama hidupnya, jiwa ini akan berakhir seperti hewan.
Agaknya Ibnu Thufail meletakan tanggung jawab manusia di hadapan Allah atas dasar pengetahuannya tentang Allah. orang yang mengetahui Allah dan menjalankan kebaikan akan kekal dalam kebahagiaan. Orang yang mengetahui Allah, tetapi terus melakukan perbuatan maksiat akan kekal dalam kesengsaraan. Orang yang sama sekali tidak pernah mengetahui Allah, jiwanya akan lenyap seperti lenyapnya jiwa hewan.

4. Epistemologi
Dalam epistemology, ibnu Thufail menjelaskan bahwa ma’rifat itu dimulai dari pancaindra. Dengan pengamatan dan pengalaman dapat diperoleh pengetahuan indrawi. Hal-hal yang bersifat metafisis dapat diketahui dengan akal intuisi. Ma’rifat dilakukan dengan dua cara: pemikiran atau renungan akal, seperti yang dilakukan para filosof muslim, dan kasyf ruhany (tasawuf), seperti yang biasa dilakukan oleh kaum sufi. Kesesuaian antara nalar dan intuisi membentuk esensi epistemology Ibnu Thufail.
Ma’rifat dengan kasyf ruhany, menurut Ibnu Thufail, dapat diperoleh dengan latihan-latihan rohani dengan penuh kesungguhan. Semakin tinggi latihan ini, ma’rifat akan semakin jelas, dan berbagai hakikat akan tersingkap. Sinar terang yang akan menyenangkan, akan melingkup orang yang melakukannya. Jiwanya menjadi sadar sepenuhnya dan mengalami apa yang tidak pernah dilihat mata, didengar telinganya, dirasa oleh hati. Kasyf ruhany merupakan ekstase yang tidak dapat dilukiskan degan kata-kata sebab kata-kata hanya merupakan symbol-simbol yang terbatas pada pengalaman indrawi.

5. Rekonsiliasi (tawfiq) antara filsafat dan agama.
Melalui roman Filsafat Hayy ibn Yaqzhan, ibnu Thufail menekankan bahwa antara filsafat dan agama tidak bertentangan, dengan kata lain, akal tidak bertentangan dengan wahyu.
Allah tidak hanya dapat diketahui dengan wahyu, tetapi juga dapat diketahui dengan akal. Hayy yang bebas dari pengaruh ajaran nabi, dapat sampai ke tingkat tertinggi dari ma’rifat terhadap Allah, melalui akalnya dan melalui kasyf ruhany yang ia peroleh dengan jalan latihan kerohanian, seperti berpuasa, shalat dan lainnya.
Ibnu Thufail menokohkan Hayy sebagai personifikasi dari spirit alamiah manusia yang disinari (illuminated) dari “atas”. Spirit tersebut mesti sesuai dengan ruh Nabi Muhammad, yang ucapan-ucapannya perlu ditafsirkan secara metaforis.
Ibnu Thufail menyadari, mengetahui, dan berhubungan dengan Allah melalui pemikiran akal murni, yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang khusus (ahl al-ma’rifat). Orang awam tidak mampu melakukannya. Justru itu, bagi orang awam sangat diperlukan adana ajaran agama yang dibawa oleh nabi.
Agama yang diturunkan untuk semua orang dalam segala tingkatannya. Filsafat hanya dapat dijangkau oleh orang-orang yang bernalar tinggi yang jumlahnya sedikit. Agama melambangkan “dunia atas” (divine world) dengan lambang-lambang eksoteris.
Kenyataannya, ibnu Thufail berusaha dengan penuh kesungguhan untuk merekonsiliasikan antara filsafat dan agama. Hayy dalam roman filsafatnya, ia melambangkan sebagai akal yang dapt berkomunikasi dengan Allah. Sedangkan Absal, ia lambangkan wahyu (agama) dalam bentuk esoteris, yang membawa hakikat (kebenaran). Sementara, ia lambangkan sebagai wahyu (agama) dalam bentuk aksoteris, yang juga membawa kebenaran. Kebenaran yang dihasilkan fisafat tidak bertentangan (sejalan) dengan kebenran yang dikehendaki agama karena sumbernya sama, yakni Allah Swt.
IBN THUFAIL
1. Biografi
Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Muhammad ibn Abd al-Malik ibn Muhammad ibn Muhammad Ibn Thufail al-Qaisyi. Di barat dikenal dengan Abubacer. Ia dilahirkan di Guadix, 40 mil di Timur Laut Granada pada 506 H (1110 M) dan meninggal di kota Maraqesh, Maroko pada 581 M (1185 M). sebagai seorang turunan suku Qaisy, suku Arab terkemuka, ia dengan mudah mendapatkan fasilitas belajar, apalagi kecintaannya kepada buku-buku dan ilmu pengetahuan mengalahkannya cintanya kepada sesame manusia. Hal ini mengantarkannya menjadi seorang ilmuan dalam banyak bidang—seperti lazimya ilmuan pada waktu itu—meliputi kedokteran, kesusastraan, matematika, dan filsafat. Kedokteran dan filsafat dipelajarinya di Sevile dan Gordova.
Pada waktu khalifah memintanya melanjutkan pekerjaan Ibn Bajjah untuk mengomentari karya Aristoteles, ia menamfik dan mengusulkan ilmuan muda, Ibn Rusyd (1169 M). Sikap Ibn Thufail menunjukan kematangan ilmunasy sehingga ia merasa perlu mempromosikan Ibn Rusyd pada jabatan terhomat dan pelanjut sesuai dengan sifat ilmunya yang progress. Tentu saja hal ini tidak terlepas dari minat khalifah terhadap ilmu sebagai factor pemicu.
Dalam bidang filsafat, Ibn Thufail dengan gigih menserasikan sains Yunani dengan hikmah timur, atau antara filsafat dengan agama. Wujud konkrit perpaduan ini tergambar dalam karyanya Hayy Ibn Yaqzhan (hidup anak sisadar). Tamsil yang dimunculkannya dalam roman filsafat ini sarat makna dan kritis.
Ibn Thufail mempunyai kedudukan penting dalam perkembangan filsafat di Dunia Islam Barat, karena posisinya sebagai penjelas dan pelanjut Ibn Bajjah dan perambah jalan untuk Ibn Rusyd. Ibn Bajjah mendekatkan filsafat Yunani dari Timur, sedangkan Ibn Rusyd mengantarkanya ke Barat setelah “diberi muatan keislaman.”

2. Karyanya
Sebenarnya Ibn Thufail lebih menggemari merenung daripada kecenderungan untuk menulis, karena itu tidak heran kalu hasil karyanya sedikit untuk generasi berikutnya. Namun, beberapa buku biografi menyebutkan bahwa ia sempat menulis bebebrapa buku dalam beberapa bidang: filsafat, fisika, kejiwaan dan kedokteran. Tetapi karangan tersebut hanya satu yang sampai kepada kita, Hayy Ibn Yaqzhan yang merupakan inti sari dari pemikiran-pemikiran Ibn Thufail, dan telah diterjemahakan kedalam beberapa bahasa. Menurut Montgomery Wat, buku inilah yang mungkin merupakan karya filsafat dalam bahasa Arab paling menarik. Suatu manuskrip di perpustakaan Escurial yang berjudul Asrar al-Hikamah al-Masyriqiyyah (rahasia-rahasia filsafat timur) hanyalah sebagai ringkasan dari buku Hayy tersebut. Nama lengkap buku tersebut adalah Risalah Hayy Ibn Yaqazhan fi Asrar al-Hikmah al-Masyriqiyyah. Adapun buku karangan lainya diperkirakan hilang dil saat terjadi kekacauan dan peperangan Magribi.
Tetapi, menurut Ibn Khatib ada dua buku tentang kedokteran yang dapat dikatakan merupakan karya ibn Thufail, setidaknya ditulis oleh dua orang muridnya yang dipersembahkan kepada Ibn Thufail, yaitu karya Al-Bithruji berjudul Kitab al-Hai’ah, dan karya Ibn Rusyd berjudul Fi al-Buqa’ al-Maskunah al-Ghair al-Maskunah.

3. Filsafatnya
Untuk memaparkan pandangan-pandangan filsafatnya, ibnu Thufail memilih metode khusus dalam bentuk kisah filsafat, dalam bukunya yang terkenal Hayy Ibnu Yaqzhan. Kisah ini di tulis oleh ibnu Thufail sebagai jawaban atas permintaan seorang sahabatnya yang ingin mengetahui hikmah ketimuran (al-hikmat al-masyriqiyyat). Selain itu berat dugaan tulisan ibnu Thufail ini erat kaitannya dengan serangan al-Ghazali terhadap dunia filsafat. Dikala itu, orang-orang takut berfilsafat dan usaha-usaha para filosof muslim yang telah mendamaikan filsafat dengan agama telah sirna sama sekali. Juga buku-buku filsafat yang selama ini hanya untuk orang-orang awam. Karena itu, amat logis buku Ibnu Thufail ini menetralisasi keadaan dan ingin mengembalikan filsafat ke tempat yang semula, yakni filsafat bukanlah “barang” haram. Pada sisi lain, agar filsafat dapat dimengerti oleh orang-orang awam, filsafat dikomunikasikan lewat kisah yang amat menarik. Biasanya komunikasi melaluin kisah (cerita), diminati dan cepat diterima. dengan demikian, bila hal ini dapat diterima, tujuan yang hendak dicapai Ibnu Thufail melebihi akibat serangan Al-Ghazali yakni ingin memasyarakatkan filsafat.
Dalam kisah tersebut dapat dilihat pendirian Ibnu Thufail tentang hubungan manusia dengan Allah, manusia dengan manusia, manusia dengan alam sekitarnya, dan hubungan antara akal dan agama.
Sebelum filsafat Ibnu Thufail dipaparkan lebih jauh, ada baiknya dikemukakan ringkasan kisah Hayy ibn Yaqzhan sebagai berikut.
Di kepulauan India ada sebuah pulau yang tidak berpenghuni manusia. Pulau itu sepi dan terpencil, beriklim sedang, dan terletak di garis Khatulistiwa yang oleh Harun Nasution dikatakan Kepulauan Indonesia. Pendapat ini ada benarnya karena kepulauan yang dilewati khatulistiwa memang Indonesia. Selain itu, kebiasaan masa lalu menyebut kepulauan timur ini dengan kepulauan India. di pulau ini lahir seorang bayi secara alamiah, tanpa ayah dan ibu. Berarti lewat tulisannya ini Ibnu Thufail mendukung teori evolusi.
Riwayat lain menyebutkan, seorang perempuan telah kawin rahasia dengan seorang laki-laki dan memperoleh seorang bayi laki-laki. Karena takut kepada kakaknya yang menjadi raja di tempat itu, perempuan ini memasukan bayinya ke dalam peti dan melemparkannya ke laut. Dengan hempasan ombak, peti itu tersangkut di pulau terpencil yang tidak berpenghuni manusia. Bayi yang dimaksud adalah Hayy. Seekor rusa yang anaknya baru saja mati segera mendekati peti. Bayi yang ada dalam peti itu ia kira anaknya. Sebagai lazimnya seoramg ibu, rusa menyusui bayi itu dan sebaliknya bayi itu memandang rusa yang menyusuinya sebagai ibunya.
Hayy tumbuh dengan sehat. Sejalan dengan pertumbuhan jasmaninya, jiwa dan pemikirannya semakin berkembang. Ia memperhatikan dan mulai berpikir tentang segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Lebih dari itu, ia mampu mempergunakan akalnya sedemikian rupa sehingga dapat memahami hakikat alam empiris dan mampu berpikir hal-hal yang bersifat metafisis. Pemikirannya yang mendalam tentang segala sesuatu yang dapat ditangkap pancaindera, menimbulkan keyakinan adannya Allah, Pencipta alam semesta. Dengan penuh kesungguhan dan keikhlasan, ia berusaha membebaskan dirinya dari dunia empiris melalui kontemplasi penuh kepada Allah. Akhirnya ia memperoleh apa yang ia kehendaki, yakni ittihad (menunggal dengan Allah) atau ittishal (berhubungan langsung) dengan Allah.
Di saat ia berada dalam situasi dan pengalaman esoteric seperti itu, ia berjumpa dengan seorang laki-laki, namanya Absal. Absal datang dari suatu pulau yang tidak jauh dari tempat tinggal Hayy. Di pulau ini ia berusaha untuk menjalankan ketakwaan dan kesalehan. Hayy tidak memahami bahasa manusia. Setelah Absal mengajarinya, keduanya berkomunikasi secara lancar, saling menceritakan pengalaman masing-masing, dan saling bertukar pikiran. Absal memberitahu Hayy tentang konsep-konsep Qur’ani, yang berkenaan dengan Allah, malaikat-malaikat, nabi-nabi, hari akhirat, dan lain-lain.
Melalui informansi yang diperoleh dari Absal, Hayy menyadari bahwa metode salafi yang ia miliki telah membawa dirinya ke tingkat pengetahuan dan ma’rifat yang sejalan dengan ajaran agama yang diceritakan Absal. Ia pun tahu bahwa orang-orang yang membawa keterangan-keterangan dengan ucapan yang benar itu adalah rasul dan ia percaya kepadanya dan mengakui kerosulannya. Sebaliknya, Hayy juga menjelaskan pengalamannya dengan Allah kepada Absal. Keterangan Hayy ini memperkuat keyakinan Absal tentang ajaran agama yang diterimanya dan bertemulah akal dan wahyu (al-manqul wa al-ma’qul).
1. Metafisika (Ketuhanan)
Dari hasil pengamatan dan pemikiran tentang alam semesta serta pengalaman hidupnya, Hayy sampai pada suatu kepastian bahwa alam ini diciptakan oleh Allah. Dengan akalnya, ia telah mengetahui adanya Allah. Dalam membuktikan adanya Allah Ibnu Thufail mengemukakan tiga argument sebagai berkut.


a. Argumen gerak (al-harakat)
Gerak alam ini menjadi bukti tentang adanya Allah, baik bagi orang yang menyakini alam baharu maupun bagi orang yang menyakini alam kadim.
Bagi orang yang menyakini alam baharu, berarti alam ini sebelumnya tidak ada, kemudian menjadi ada. Untuk menjadi ada mustahil dirinya sendiri mengadakan. Oleh karena itu, mesti ada penciptanya. Pencipta inilah yang menggerakan alam dari tidak ada menjadi ada, yang disebutnya Allah. Sementara itu, bagi orang yang menyakini alam kadim, ala mini tidak didahului oleh tidak ada dan selalu ada-gerak alam ini kadim, tidak berawal dan berakhir. Karena zaman tidak mendahuluinya, arti kata gerak ini tidak didahului oleh diam. Adanya gerak ini menunjukan secara pasti adanya Penggerak (Allah).
Secara faktual, di sinilah terletaknya keistimewaan argumen gerak Ibnu Thufail yang dapat membuktikan adanya Alla, baik bagi orang yang menyakini alam kadim maupun bagi orang yang menyakini alam baharu. Bagi orang yang menyakini alam kadim, penggerak ini berfungsi mengubah materi di alam dari potensial ke aktual, arti kata mengubah satu bentuk ada kepada bentuk ada yang lain. Sementara itu, bagi orang yang menyakini alam baharu, penggerak ini berfungsi mengubah alam dari tidak ada (al-‘adam) menjadi ada. Argument gerak ini-sebagai bukti alam kadim dan baharunya-belum pernah dikemukakan oleh filosof Muslim manapun sebelumnya. Dengan argument ini, Ibnu Thufail memperkuat argumentasi bahwa tanpa wahyu akal dapat mengetahui adanya Allah.
b. Argumen materi (al-madat) dan bentuk (al-shurat)
Argument ini, menurut ibnu Thufail, dapat membuktikan adanya Allah, baik bagi orang yang menyakini alam kadim maupun alam baharu. Argumen ini didasarkan pada ilmu fisika dan masih ada korelasinya dengan dalil yang pertama (al-harakat). Hal ini dikemukakan oleh ibnu Thufail dalam kumpulan pikiran yang terkait antara satu dengan lainnya, yakni sebagai berikut.
1) Segala yang ada ini tersusun dari materi dan bentuk.
2) Setiap materi membutuhkan bentuk.
3) Bentuk tidak mungkin bereksitensi penggerak.
4) Segala yang ada (maujud) untuk bereksitensi membutuhkan pencipta.
Dengan argument di atas dapat dibuktikan adanya Allah sebagai Pencipta alam ini. Ia Mahakuasa dan bebas memilih serta tidak berawal dan tidak berakhir.
Bagi orang yang menyakini alam kadim, pencipta ini berfungsi mengeksistensi wujud dari satu bentuk pada bentuk lain. Sementara itu, bagi orang yang menyakini alam baharu, Pencipta ini berfungsi menciptakan alam dari tidak ada menjadi ada. Pencipta (Allah) merupakan illat (sebab) dan alam merupakan ma’lul (akibat). Antara keduanya mempunyai perbedaan yang tajam dan tidak bisa disamakan dalam berbagai aspek, seperti Allah kekal dan kaya, sedangkan alam berkesudahan dan berkehendak.

c. Argument al-Ghaiyat dan al-inayat al-ilahiyat
Argument ini berdasarkan pada kenyataan bahwa segala yang ada di alam ini mempunyai tujuan tertentu. Ia merupakan inayah dari Allah. Argument ini pernah dikemukakan Al-Kindi dan Ibnu Siena sebelumnya. Tampaknya, argument ini lebih banyak diilhami oleh ajaran Islam. Tiga ‘illat (sebab) yang dikemukakan oleh Aristoteles, al-madat (materi), al-shurat (bentuk), dan al-failat (pencipta)- dilengkapi oleh ibnu Siena dengan ‘illat al-ghaiyat (sebab-tujuan).
Ibnu Thufail (juga filosof muslim lain), yang berpegang dengan argument ini, sesuai dengan Qur’ani menolak bahwa alam diciptakan oleh Allah secara kebetulan. Pencipta seperti itu bukan timbul dari Pencipta yang Maha Bijaksana.
Dalam hal zat dan sifat Allah ibnu Thufail sejalan dengan pendapat Mu’tazilah. Sifat-sifat Allah yang Maha Sempurna tidak berlainan dengan zat-Nya. Allah mengetahui dan berkuasa bukan dengan sifat ilmu dan kudrat yang melekat pada zat-Nya, tetapi dengan zat-Nya sendiri. Allah adalah pemberi wujud pada semua makhluk. Ia tidak mungkin dikhayalkan, karena khayalan hanya mungkin terjadi terhadap hal-hal inderawi.

2. Fisika
Menurut Ibnu Thufail alam ini kadim dan juga baharu. Alam kadim karena Allah menciptakannya sejak azali, tanpa didahlui oleh zaman (taqaddum zamany). Dilihat dari esensinya, alam adalah baharu karena terwujudnya alam (ma’lul). bergantung pada zat Allah (‘illat).
Pandangan ibnu Thufail mengenai kadim dan baharunya alam, tampaknya merupakan kompromi antara pendapat Aristoteles yang menyatakan alam kadim dengan ajaran kaum ortodok Islam yang menyatakan alam baharu. Untuk jelasnya, ibnuThufail memberikan contoh sebagai berikut.
Sebagaimana ketika anda menggenggam suatu benda, kemudian anda gerakan tangan anda, maka benda mesti bergerak mengikuti gerak tangan anda. Gerakan benda tersebut tidak terlambat di segi zaman dan hanya keterlambatan dari segi zat. Demikian alam ini seluruhnya merupakan akibat dan diciptakan oleh Allah tanpa zaman. Firman Allah: “Sesungguhnya keadaann-Nya, apabila Ia menghendaki sesuatu hanyalah berfirman kepada-Nya: Jadilah maka jadilah ia. (QS. Yasin: 50).

3. Jiwa
Jiwa manusia menurut ibnu Thufail, adalah makhluk yang tertinggi martabatnya. Manusia terdiri dari dua unsur, yakni jasad dan roh (al-madat wa al-ruh). Badan tersusun dari unsur-unsur, sedangkan jiwa tidak tersusun. Jiwa bukan jisim dan bukan pula suatu daya yang ada di dalam jisim. Setelah badan hancur atau mengalami kematian, jiwa lepas dari badan, dan selanjutnya jiwa yang pernah mengenal Allah selama berada dalam jasad akan hidup dan kekal.
Menurut ibnu Thufail (juga filosof muslim sebelumnya) jiwa terdiri dari tiga tingkat: dari yang rendah jiwa tumbuhan (al-nafs al- nabatiyat) ke tingkat yang lebih tinggi jiwa hewan (al-nafs hayawaniyat), kemudian ke tingkat jiwa yang martabatnya lebih tinggi dari keduanya jiwa manusia (al-nafs al-natiqat).
Mengenai keabadian jiwa manusia dan hubungannnya dengan Allah, ibnu Thufail mengelompokan jiwa dalam tiga keadaan berikut.
a. Jiwa yang sebelum mengalami kematian jasad telah mengenal Allah, mengagumi kebesaran dan keagungan-Nya, dan selalu ingat kepada-Nya, maka jiwa seperti ini akan kekal dalam kebahagiaan.
b. Jiwa yang telah mengenal Allah, tetapi melakukan maksiat dan melupakan Allah, jiwa seperti ini akan abadi dalam kesengsaraan.
c. Jiwa yang tidak pernah mengenal Allah selama hidupnya, jiwa ini akan berakhir seperti hewan.
Agaknya Ibnu Thufail meletakan tanggung jawab manusia di hadapan Allah atas dasar pengetahuannya tentang Allah. orang yang mengetahui Allah dan menjalankan kebaikan akan kekal dalam kebahagiaan. Orang yang mengetahui Allah, tetapi terus melakukan perbuatan maksiat akan kekal dalam kesengsaraan. Orang yang sama sekali tidak pernah mengetahui Allah, jiwanya akan lenyap seperti lenyapnya jiwa hewan.

4. Epistemologi
Dalam epistemology, ibnu Thufail menjelaskan bahwa ma’rifat itu dimulai dari pancaindra. Dengan pengamatan dan pengalaman dapat diperoleh pengetahuan indrawi. Hal-hal yang bersifat metafisis dapat diketahui dengan akal intuisi. Ma’rifat dilakukan dengan dua cara: pemikiran atau renungan akal, seperti yang dilakukan para filosof muslim, dan kasyf ruhany (tasawuf), seperti yang biasa dilakukan oleh kaum sufi. Kesesuaian antara nalar dan intuisi membentuk esensi epistemology Ibnu Thufail.
Ma’rifat dengan kasyf ruhany, menurut Ibnu Thufail, dapat diperoleh dengan latihan-latihan rohani dengan penuh kesungguhan. Semakin tinggi latihan ini, ma’rifat akan semakin jelas, dan berbagai hakikat akan tersingkap. Sinar terang yang akan menyenangkan, akan melingkup orang yang melakukannya. Jiwanya menjadi sadar sepenuhnya dan mengalami apa yang tidak pernah dilihat mata, didengar telinganya, dirasa oleh hati. Kasyf ruhany merupakan ekstase yang tidak dapat dilukiskan degan kata-kata sebab kata-kata hanya merupakan symbol-simbol yang terbatas pada pengalaman indrawi.

5. Rekonsiliasi (tawfiq) antara filsafat dan agama.
Melalui roman Filsafat Hayy ibn Yaqzhan, ibnu Thufail menekankan bahwa antara filsafat dan agama tidak bertentangan, dengan kata lain, akal tidak bertentangan dengan wahyu.
Allah tidak hanya dapat diketahui dengan wahyu, tetapi juga dapat diketahui dengan akal. Hayy yang bebas dari pengaruh ajaran nabi, dapat sampai ke tingkat tertinggi dari ma’rifat terhadap Allah, melalui akalnya dan melalui kasyf ruhany yang ia peroleh dengan jalan latihan kerohanian, seperti berpuasa, shalat dan lainnya.
Ibnu Thufail menokohkan Hayy sebagai personifikasi dari spirit alamiah manusia yang disinari (illuminated) dari “atas”. Spirit tersebut mesti sesuai dengan ruh Nabi Muhammad, yang ucapan-ucapannya perlu ditafsirkan secara metaforis.
Ibnu Thufail menyadari, mengetahui, dan berhubungan dengan Allah melalui pemikiran akal murni, yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang khusus (ahl al-ma’rifat). Orang awam tidak mampu melakukannya. Justru itu, bagi orang awam sangat diperlukan adana ajaran agama yang dibawa oleh nabi.
Agama yang diturunkan untuk semua orang dalam segala tingkatannya. Filsafat hanya dapat dijangkau oleh orang-orang yang bernalar tinggi yang jumlahnya sedikit. Agama melambangkan “dunia atas” (divine world) dengan lambang-lambang eksoteris.
Kenyataannya, ibnu Thufail berusaha dengan penuh kesungguhan untuk merekonsiliasikan antara filsafat dan agama. Hayy dalam roman filsafatnya, ia melambangkan sebagai akal yang dapt berkomunikasi dengan Allah. Sedangkan Absal, ia lambangkan wahyu (agama) dalam bentuk esoteris, yang membawa hakikat (kebenaran). Sementara, ia lambangkan sebagai wahyu (agama) dalam bentuk aksoteris, yang juga membawa kebenaran. Kebenaran yang dihasilkan fisafat tidak bertentangan (sejalan) dengan kebenran yang dikehendaki agama karena sumbernya sama, yakni Allah Swt.